Keramahan Urang Tangtu atau yang disebut Baduy Dalam tetap akan kita rasakan hingga sepanjang perjalanan apa bila kita berpapasan. Bahkan bila kita tidak dengan guidedari Baduy Luar. Di desa yang kita lewati mereka pun dengan senang hati akan mengantarkan kita ke Desa dimana orang Baduy Dalam bermasyarakat.
Sepanjang pendakian kita bisa menikmati indahnya alam pegunungan. Kita pun tak perlu membekal air minum karena kita bisa langsung meminum jernihnya air pegunungan yang bersih. Kita juga akan banyak menjumpai Leuit atau lumbung padi yang jauh dari perumahan mereka. Tidak tunggu oleh pemiliknya tetapi tetap aman. Saat di atas (perbukitan) kita juga akan menjumpai gubuk-gubuk yang tidak beda dengan rumah mereka, hanya gubug ini ditinggali beberapa hari saat berkebun. Mereka pun menyediakan minuman dalam kendi beserta cangkir yang terbuat dari bambu untuk siapapun yang lewat dan merasa kehausan.
“Kasihan atuh mereka kalau kehausan, jadi saya sediakan air minum di sini,” ujar Asmin, salah satu penunjuk jalan yang notabene penduduk asli Baduy Dalam saat melewati saung/gubug diperkebunannya dengan bahasa sunda Banten.
Saling menghormati
Penduduk Baduy Dalam yang berpenduduk 85 Kepala Keluarga hidup rukun, saling membantu dan saling menghormati.
Rumah penduduk Baduy Dalam semuanya menghadap ke selatan. Hanya satu rumah yang menghadap ke barat, yaitu rumah Pu’un atau kepala suku/adat. Saat menjabat sebagai Pu’un orang ini dilarang keluar dari daerah Baduy, bahkan ke Baduy Luar pun. Untuk masa jabatan sendiri 10 hingga 30 tahun. Pu’un adalah jabatan turun temurun/warisan bukan pilihan warga. Di tengah perumahan terdapat Alun-alun untuk upacara adat saat musim tanam dan panen. Alun-alun sendiri di sini hanya tanah lapang berbatu tanpa penerangan apa lagi kesan mewah seperti umumnya Alun-alun di setiap daerah. Tak ada barang/alat modern sama sekali di sini. Untuk penerangan mereka menggunakan minyak sayur yang ditempatkan ke dalam mangkok berbahan tanah lalu diberi sumbu berbahan kain, bukan minyak tanah. Ini terbukti sangat ramah lingkungan karena asapnya relative sedikit ketimbang minyak tanah. Untuk mandi dan mencuci mereka/kita tidak boleh menggunakan sabun, keramas tak boleh memakai shampo, dan gosok gigi tak diperkenankan menggunakan pasta gigi/odol. Mereka hanya menggunakan Lerak sebagai sabun, Honje (semacam lengkuas) untuk keramas, dan sabut kelapa utnuk menggosok gigi.
Tidak ada hingar binger musik di sini. Sunyi, dan damai. Bila malam sesekali terdengar sayup petikan kecapi atau seruling, itu pun tak sampai larut malam. Hanya enam bulan sekali mereka menggunakan musik dengan sedikit riuh dari Angklung Buhun yang mereka keluarkan saat musim tanam padi.
Agama yang mereka anut adalah Sunda Wiwitan. Mereka masih menyembah batu sebagai Tuhannya. Bila meninggal mereka dikubur di ladang. Cara menggali kuburunnya pun tidak boleh menggunakan cangkul. Mereka hanya menggali menggunakan kayu. Setelah sekitar kedalaman 1 meter, mayat diletakkan membujur ke barat kepala menghadap ke utara, lalu ditimbun tanpa diberi nisan sebagai tanda itu adalah makam. Bahkan musim tanam berikutnya kuburan itu ditanami tadi.
Mengapa mereka hidup begitu bersahaja?karena mereka percaya “Pancuer Bumi” atau pusat bumi ada di tanah yang mereka pijak dan mereka harus manjaga keutuhan dan kelestarian alam untuk kelangsungan hidup orang banyak tidak hanya yang tinggal di kampung itu saja. Bahkan mereka memiliki Hutan Larangan yang pantang ditebang pohonnya. Tak hanya tidak menebang, mengambil kayu dan daunnya pun mereka tidak lakukan. Karena hutan ini terdapat mata air sungai-sungai yang mengalir ke desa-desa hingga luar Baduy.
Bila saja semua orang menjaga alam raya seperti mereka tentu tak akan ada bencana banjir dan longsor di bumi tercinta ini. Rasanya kita yang hidup era modernisasi dapat mencontoh pripsip hidup sederhana Suku Baduy.
Note: Artikel ini sudah dimuat di media berbahasa Indonesia di Taiwan pada Februari 2015.