Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Menulis untuk senang-senang... Instagram: @amw.1408

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Agar (Mantan) Caleg Tidak Stres Setelah Pesta Demokrasi

22 Januari 2024   10:18 Diperbarui: 22 Januari 2024   11:25 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa, Pemilu sudah akan tiba dalam waktu kurang dari satu bulan lagi. Pemilu kali ini mungkin adalah salah satu pesta demokrasi terpenting dalam sejarah Indonesia yang akan menentukan arah berlayarnya kapal besar bangsa ini. Tidak kurang, masa depan kita dipertaruhkan di sini.

Pemilu memang sangat penting bagi seluruh warga Indonesia. Namun, Pemilu memiliki urgensi yang jauh lebih besar bagi satu segmen khusus yang ada di masyarakat.

Segmen ini adalah pemain utama dalam pesta demokrasi, yang uniknya justru sering dilupakan setelah Pemilu itu sendiri berlalu. Segmen yang saya bicarakan tentu saja adalah para caleg yang ikut dalam kontestasi Pemilu, yang jika ditotal jumlahnya mencapai ribuan, mulai dari caleg DPR, DPD, sampai DPRD baik itu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota se-Indonesia.

Setelah Pemilu usai, tidak jarang kita membaca berita tentang mantan-mantan caleg yang stress atau tertekan karena tidak terpilih. Bagi yang membaca, berita-berita semacam ini mungkin masuk dalam kategori unik atau bahkan lucu dan menghibur. Namun tidak bagi para caleg yang benar-benar menjalaninya. 

Pasalnya, mayoritas caleg adalah tulang punggung keluarga yang telah menghabiskan uang dalam jumlah tidak sedikit selama masa kampanye. Jika terjadi sesuatu yang membuat mereka tidak dapat kembali produktif setelah Pemilu usai, maka tidak hanya si caleg itu sendiri yang menderita, namun juga seluruh anggota keluarganya serta orang-orang lain yang mengandalkan hidupnya dari si caleg.

Saya sendiri sebagai salah satu dari sedikit orang yang masuk dalam kategori tersebut memperhatikan bahwa potensi beban mental memang semakin memuncak mendekati hari H pencoblosan bagi sesama caleg yang berjuang. Karena itu, saya merasa perlu membuat tulisan yang mungkin satu-satunya di Indonesia ini tentang kiat-kiat agar para (mantan) caleg terhindar dari stress atau konsekuensi buruk lainnya setelah pesta demokrasi selesai.

Luruskan Niat

Segala sesuatu diawali dengan niat. Mungkin terdengar klise, namun hal ini sangat penting. Kenyataannya, jauh lebih banyak caleg yang ikut dalam kontestasi Pemilu dengan niat yang salah. Niat yang benar tentu saja adalah untuk mengabdi dan membuat kemajuan bagi masyarakat banyak. Apapun di luar itu -- seperti mengumpulkan kekayaan atau karena ingin terpandang -- adalah niat yang keliru.

Jika dari awal niat si caleg memang benar untuk masyarakat, maka ia akan bisa lebih legawa ketika pada akhirnya tidak terpilih. Mungkin perasaannya tidak jauh berbeda dengan orang yang ditolak cintanya -- yang kebanyakan dari kita pernah menjalaninya. 

Awalnya terasa berat, namun pada akhirnya kita bisa melaluinya dan bahkan menemukan kebahagiaan di tempat yang lain. Namun jika si caleg mengikuti Pemilu karena alasan ekonomi, maka ia akan memandang seluruh kegiatan terkait Pemilu yang dijalaninya dari perspektif transaksional. 

Semua pengeluaran yang ia lakukan selama kampanye akan dianggap sebagai modal yang menghilang begitu saja manakala si caleg tidak terpilih, tidak berbeda halnya dengan orang yang gagal dalam berbisnis. Dan, pengalaman mengajarkan kita bahwa mayoritas orang Indonesia lebih mudah move on dari putus cinta daripada gagal berbisnis.

Kendalikan Ekspektasi

Tidak ada orang yang mengikuti kompetisi untuk menjadi pecundang. Semua ingin menang. Mentalitas ini bagus jika diterapkan untuk memotivasi para caleg agar terus berjuang meraih simpati masyarakat. Namun di sisi lain mereka tetap harus realistis terhadap peluangnya. 

Kenyataan statistiknya adalah dari sekian banyak caleg yang berlaga, hanya 5-6 persen saja yang pada akhirnya terpilih sebagai wakil rakyat. Contohnya dari kontestasi DPRD dapil 4 di Jakarta, 10 kursi diperebutkan oleh tidak kurang dari 180 calon legislatif. Artinya, 170 di antara mereka akan menjadi pecundang, atau sejumlah 17 kali lipat dari pemenangnya.

Berita lebih buruknya lagi, peluang ini tidak merata 5-6 persen untuk setiap caleg. Bagi caleg yang merupakan petahana dan sudah mengeluarkan banyak modal, peluangnya tentu lebih besar antara 20 sampai 50 persen ia bisa terpilih kembali. Bagi caleg yang tidak terkenal dan tidak banyak modal, peluangnya mungkin tidak sampai satu persen. 

Jika si caleg berharap memiliki peluang yang sama dengan calon-calon yang jauh lebih mapan, tentu ia akan menghadapi masalah manakala Pemilu usai dan suaranya hanya berkisar di angka ratusan atau bahkan puluhan yang terdiri dari keluarga dan tetangganya saja. Jadi, sejak awal para caleg hendaknya bisa menakar sejauh mana peluangnya untuk menang agar tidak terlalu kecewa di kemudian hari.

Kelola Modal Kampanye dengan Baik

Poin terakhir namun tidak kalah penting bagi setiap caleg tentu saja adalah modal. Di tengah maraknya berita tentang partai-partai yang melaporkan dana kampanyenya, pembaca mungkin akan kaget jika mengetahui bahwa jumlah dana sebenarnya yang beredar teramat sangat jauh lebih besar dari itu. Dan ini tidak menghitung dana kampanye yang digunakan secara ilegal untuk keperluan money politic.

Di Jakarta saja sebagai contoh, untuk sekedar dapat mengikuti kontestasi Pemilu secara layak seorang caleg DPRD perlu mengeluarkan uang paling sedikit satu atau dua miliar. Untuk bisa diperhitungkan memiliki peluang menang, jumlah tersebut setidaknya perlu ditingkatkan hingga dua sampai tiga kali lipat. Beberapa caleg yang jor-joran bahkan mengeluarkan modal jauh lebih besar daripada total gaji dan insentif yang diterimanya sebagai anggota dewan selama lima tahun jika nantinya benar-benar terpilih.

Besar-kecilnya modal kampanye sebenarnya adalah faktor yang relatif bagi setiap kontestan. Bagi caleg yang berada, jumlah miliaran mungkin tidak menjadi masalah. Namun bagi mereka yang berasal dari kalangan biasa-biasa saja, uang ratusan juta saja mungkin sudah diusahakan setengah mati -- bahkan sampai berhutang kesana-kemari. Masalahnya, dalam konteks Pemilu uang ratusan juta terhitung sangat kecil. Jika seorang caleg yang biasa-biasa saja datang ke arena Pemilu dengan modal ratusan juta dan berharap menjadi pemenang karena jumlah uang tersebut sangat besar artinya bagi dia, maka si caleg berpotensi akan mengalami tekanan mental yang hebat manakala ia mendapati kenyataan yang sesungguhnya setelah perhitungan suara selesai dilakukan.

Cara paling mudah bagi para caleg untuk mengelola modal adalah dengan memperhitungkan jumlah uang yang masih bisa diterima sekiranya ia tidak menang dan uang tersebut akhirnya menghilang. Dan ini tidak harus sama bagi setiap kontestan. 

Caleg yang kaya mungkin tidak masalah kehilangan uang miliaran setelah Pemilu. Namun bagi caleg yang cekak, ratusan juta mungkin bisa berarti uang kuliah yang sangat penting bagi anak-anak mereka di masa depan. Intinya, para caleg harus bisa menakar kekuatan sendiri sejak sebelum hingga sesudah Pemilu selesai dilaksanakan. Jangan lupa, kita para caleg masih punya banyak kehidupan jauh setelah pesta demokrasi usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun