Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Sutan Sjahrir: Nepotisme Berkedok Gerakan Anak Muda

30 Oktober 2023   16:13 Diperbarui: 30 Oktober 2023   16:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, kawah candradimuka perpolitikan dan pemerintahan Indonesia semakin banyak diisi oleh anak-anak muda. Di wilayah-wilayah, kita dapat dengan mudah menemui bupati, walikota, sampai gubernur yang masih berusia antara 30 hingga 40 tahunan. Kita memiliki menteri berusia awal 30 tahunan yang kebetulan mengurusi bidang kepemudaan. Baru-baru ini, kita memiliki salah satu ketua umum parpol termuda sepanjang sejarah Indonesia yang masih berusia kepala dua. Puncaknya, sekarang kita juga memiliki calon wakil presiden termuda sepanjang sejarah Indonesia yang masih berusia 36 tahun -- walaupun kelolosannya sebagai cawapres banyak "dibantu" oleh perubahan peraturan yang baru saja disahkan oleh MK alias Mahkamah Keluar... eh, Konstitusi.

Sekilas, munculnya anak-anak muda di puncak peta perpolitikan Indonesia terdengar seperti berita baik. Kita jadi teringat kembali dengan romansa pergerakan kaum muda di zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulu yang ditandai dengan landmark bersejarah yang baru saja kita peringati yakni Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kita pernah memiliki Sutan Sjahrir yang sempat menjadi Perdana Menteri termuda di dunia pada usia 36 tahun. Ada pula Soedirman yang menjadi panglima tertinggi dan praktis menyelamatkan Indonesia dari penjajahan kembali oleh Belanda di usia 29 tahun. Bahkan tidak kurang dari tokoh proklamator kita, Soekarno, menjadi pendiri sekaligus ketum Partai Nasional Indonesia (PNI) saat usianya masih 26 tahun.

Namun jika kita menelaah lebih jauh, kemunculan anak-anak muda pada peta perpolitikan Indonesia saat ini memiliki situasi yang sangat jauh berbeda dengan zaman pergerakan pemuda di era perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulu. Jika para pemuda dahulu muncul ke permukaan karena idealisme, semangat, dan komitmen perjuangan mereka yang berkobar-kobar, maka para pemuda saat ini lebih banyak muncul karena latar belakang keluarganya. Entah ia adalah kenalan siapa, kerabat siapa, atau yang paling sering: anaknya siapa.

Tidak perlu lagi anak-anak muda ini harus memperjuangkan idealismenya dari sejak bangku kuliah. Tidak perlu lagi mereka harus berprestasi dan memiliki kegiatan-kegiatan yang menonjol dan tersohor hingga ke mancanegara saat masih berstatus mahasiswa. Tidak perlu lagi mereka harus ditempa dengan menjadi pemberontak yang melawan penguasa lalim, bahkan harus keluar masuk penjara atau pengasingan sebelum usianya menyentuh kepala tiga. Anak-anak muda yang muncul saat ini cukup memiliki perjalanan studi yang biasa-biasa saja di bangku kuliah dan tidak perlu memiliki jejak pemikiran revolusioner yang tercatat dalam tulisan-tulisan atau pergerakan mereka. Cukup dengan bantuan modal dan koneksi dari bapak, mereka bisa mentas di panggung perpolitikan kelas nasional.

Mari sejenak kita bandingkan dengan perjalanan karir Sutan Sjahrir, salah satu pahlawan nasional kita yang sepanjang sejarah perjuangannya terkenal dengan atribut pemuda yang melekat pada dirinya. Dari sejak usia belasan, Si Kancil, demikian ia dijuluki, tidak hanya berprestasi di sekolah, namun aktif pada banyak kegiatan ekstrakurikuler mulai dari klub debat hingga teater. Ia turut mempelopori pergerakan dan ikut mendirikan perhimpunan Pemuda Indonesia yang menjadi motor Kongres Pemuda Indonesia yang melahirkan peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda itu tadi.

Sjahrir memiliki idealisme dan pemikiran sosialisme yang ia pegang teguh sebagai pondasi perjuangannya. Tidak jarang, pemikiran ini membuatnya berhadap-hadapan langsung dengan sesama tokoh perjuangan Indonesia seperti Soekarno dan Muhammad Hatta. Namun di tengah perbedaan mereka, para proklamator tetap mengakui kontribusi pemikiran Sjahrir untuk kemajuan Indonesia sehingga Presiden Soekarno kala itu mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia pada tahun 1945 saat ia berusia 36 tahun. Keluar masuk penjara bukan barang baru bagi Sjahrir untuk mempertahankan idealismenya. Bahkan, akhir hidupnya sampai meninggal pada tahun 1966 dihabiskan dalam pengasingan sebagai tawanan politik di Negara Swiss. Bukan kekayaan atau jabatan yang dikumpulkan. Tidak pula nama besar Sutan Sjahrir yang ditenggelamkan selama berpuluh tahun oleh pemerintah Indonesia karena perbedaan pandangannya. Namun itulah harga mahal yang rela dibayar oleh Sjahrir untuk sebuah idealisme dan prinsip yang merupakan modal utama bagi perjuangan khas jiwa-jiwa muda yang merdeka.

Zaman sekarang tidak ada lagi Sutan Sjahrir. Alih-alih, kebanyakan anak-anak muda yang muncul dalam dunia perpolitikan Indonesia saat ini adalah antitesis dari anak-anak muda di zaman perjuangan kemerdekan Indonesia dahulu. Mereka tidak lebih dari perpanjangan tangan oligarki yang dimunculkan untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang atau golongan saja. Maka jangan heran jika banyak pemimpin dan politisi muda ini yang sudah terjerat kasus korupsi yang merugikan negara atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas memperkaya diri sendiri yang dapat dipertanyakan lainnya di usia yang masih tergolong "belia" untuk ukuran politisi. Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Pada gilirannya, mereka akan menjadi penguasa oligarki baru yang seharusnya diruntuhkan oleh semangat jiwa muda yang membara.

Konon menurut Fahri Hamzah, tidak ada lagi dinasti di negara demokrasi karena pada hakikatnya semua orang maju melalui sistem pemilihan. Namun Fahri membuat pernyataan tersebut sebagai seorang politisi tulen, yang -- tergantung pada kepentingannya -- bisa lain hari ini dan lain kemarin. Lagipula pernyataan tersebut bisa saja tidak berarti mengingat iklim demokrasi di Indonesia yang masih carut marut dan dipenuhi politik uang maupun kecurangan -- sebagaimana disampaikan sendiri oleh Mahfud MD, salah seorang cawapres yang juga ikut berkompetisi dalam kontestasi Pemilu tahun depan.

Masih kurang bukti? Di sebuah wilayah yang masih tidak jauh dari ibu kota, politik dinasti merajalela dilanggengkan oleh "sistem" demokrasi. Penguasa-penguasa di wilayah tersebut masih berasal dari satu garis keturunan walaupun banyak di antara mereka yang sudah terbukti korup dan keluar-masuk hotel prodeo, serta wilayah yang dipimpinnya bergelimang kemiskinan. Logikanya, masyarakat sudah tentu kapok memilih orang-orang dari dinasti ini sebagai pemimpin mereka. Namun rusaknya sistem demokrasi di Indonesia mengakibatkan dinasti ini terus berkuasa, mungkin sampai sumber daya yang ada di wilayah tersebut habis tidak bersisa. Inilah kenyataan demokrasi yang ada di Indonesia saat ini.

Bagian paling buruknya, partai-partai politik justru ikut melanggengkan praktek nepotisme modern ini di seluruh penjuru Indonesia. Mereka mensponsori politik dinasti demi alasan pragmatis yakni untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dengan cara yang paling cepat dan mudah. Padahal, partai politik memiliki tanggung jawab moral untuk memunculkan tokoh-tokoh terbaik dan paling teruji untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang baru. Hanya dengan cara itu negara kita bisa menjadi lebih maju dan cita-cita perjuangan bangsa dapat tercapai. Jika hanya bermodalkan slogan dan tanpa upaya sungguh-sungguh ke arah tersebut, alih-alih kembali mengandalkan politik dinasti sekedar untuk mencari suara masyarakat, maka jangan bermimpi Indonesia akan menjadi negara maju di usia emasnya pada tahun 2045 nanti. Ironisnya, kemunduran ini justru diawali oleh anak-anak muda yang seharusnya kreatif, inovatif, berani, dan menjadi tulang punggung pergerakan kemajuan bangsa -- bukan sebaliknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun