Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Menulis untuk senang-senang... Instagram: @amw.1408

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Crazy Rich yang Sebenarnya adalah Ketua RT dan RW

20 Maret 2022   07:06 Diperbarui: 20 Maret 2022   07:35 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini, bangsa kita sedang digerogoti kanker bernama fenomena crazy rich. Dan sebagaimana layaknya kanker, fenomena ini memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap nilai-nilai kehidupan Bangsa Indonesia yang telah lestari sejak zaman kemerdekaan. Luntur sudah apresiasi masyarakat terhadap sifat kebersahajaan, berganti dengan budaya pamer yang sudah masuk kategori akut dan kronis. Pamer ini pamer itu, pamer apapun dan dimanapun, dengan media apa saja. Harta menjadi tujuan hidup manusia, satu-satunya tolak ukur yang menentukan patut atau tidaknya seseorang untuk dihargai. Berilmu, baik hati, dan murah hati nomor sekian, yang penting kaya. Kaya dengan cara apa saja, mau hasil menipu atau korupsi – selama tidak tertangkap – maka tidak masalah.

Padahal sewaktu kecil, kita diajarkan oleh orang tua kita bahwa pamer dan sombong adalah sifat yang buruk dan harus dijauhi. Mereka adalah pakaian Tuhan, dan hanya Tuhan lah yang pantas untuk mengenakan atribut tersebut. Kita sebagai manusia memiliki banyak kekurangan, dan oleh karenanya kita mengkompensasi kekurangan tersebut dengan selalu berbuat baik kepada sesama manusia. Setidaknya itulah nilai-nilai yang tumbuh besar bersama kita. Betapa saat ini zaman telah berubah. Bahkan ketika orang-orang berbagi, tidak sedikit yang melakukannya dengan tujuan semata untuk pamer. Istilah kerennya, tangan kanan berbagi; tangan kiri instastory.

Sejatinya tidak ada yang salah dengan orang kaya. Baik malah. Semakin banyak orang berharta, maka semakin makmur pula suatu negara. Orang kaya lebih punya peluang untuk memajukan komunitas di sekitarnya. Namun bagai sebilah pisau dengan gagangnya, maka kekayaan juga harus disertai dengan kebaikan hati. Tanpanya, kekayaan hanya akan merusak, baik itu bagi pemakainya sendiri, maupun bagi orang-orang di sekitarnya. Atau itu tadi, melahirkan kanker bernama fenomena crazy rich yang sedang mewabah di kalangan masyarakat kita belakangan ini.

Kembali ke istilah crazy rich, alih-alih disematkan kepada mereka yang hobi pamer harta, sebenarnya ada golongan manusia lain yang juga pantas memperoleh predikat tersebut – dan memberikannya konotasi yang jauh lebih positif. Mereka adalah para pengurus warga yang mengabdi sebagai ketua dan pengurus RT, RW, LMK, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Sepintas mungkin ini terdengar seperti clickbait, namun tulisan ini akan membuat argumen yang – semoga – cukup kuat untuk mendukung klaim tersebut.

Yang pertama, merujuk pada terminologi crazy dari istilah crazy rich. Crazy dalam Bahasa Indonesia tentu saja artinya adalah gila alias sakit jiwa. Kaitannya dalam hal ini, sepertinya hanya orang-orang crazy saja yang mau merelakan dirinya menjadi ketua atau pengurus RT dan RW. Bagaimana tidak? RT dan RW memiliki tanggung jawab yang teramat besar terhadap masyarakat di wilayahnya. Ada warga berselisih, panggil RT dan RW. Ada selokan mampet, panggil RT dan RW. Ada fasilitas umum lain yang rusak, panggil RT dan RW. Ada sosialisasi program pemerintah, panggil RT dan RW. Ada kewajiban untuk menyukseskan program pemerintah tersebut, panggil RT dan RW. Bahkan kadang-kadang ada atap bocor di rumah, dipanggil pula RT dan RW. Ohya, dan apakah sudah disebutkan bahwa RT dan RW adalah kewajiban 24 jam, selama 365 hari dalam setahun. RT dan RW tidak punya jatah cuti, dan tidak ada kata libur dari tanggung jawab sebagai RT dan RW. Bahkan di hari lebaran maupun hari natal, RT dan RW tetap mengemban tanggung jawab sebagai abdi masyarakat. Jika selokan mampet di hari lebaran, maka RT dan RW tetap memiliki kewajiban untuk memantaunya, jika perlu, sambil masih mengenakan sarung dan kopiah, lengkap dengan sepiring opor ayam dan ketupat di tangan.

Logikanya dengan tanggung jawab sebesar itu, tentu RT dan RW mendapatkan kompensasi yang sepadan. Namun kenyataannya tidak bisa lebih bertolak belakang lagi, sebab RT dan RW tidak menerima gaji sepeser pun dari pemerintah. Nol. Jadi presiden, gubernur, bupati, walikota, bahkan camat dan lurah, semua mendapatkan kompensasi gaji yang lumayan. Gaji pokok lurah di Jakarta mungkin tidak sampai lima juta, namun tunjangannya paling kecil sebesar dua puluh tujuh juta rupiah per bulan. Mungkin tidak sampai bisa membuat lurah menjadi crazy rich, tapi jelas nominal tersebut tidak sedikit. Yang lebih membahagiakan lagi, jabatan-jabatan yang disebutkan tadi memiliki jenjang karir. Hari ini jadi lurah, besok bisa jadi camat atau walikota, dan jika beruntung dan populer, mungkin ujung-ujungnya bisa menjadi gubernur atau bahkan presiden sekalipun. Jadi RT dan RW? Ya mentok di situ. Paling maksimal, hari ini jadi RT, mungkin besok bisa jadi RW – itupun jika masih dipercaya oleh warga.

Lebih mengenaskan lagi, RT dan RW tidak dibekali dengan instrumen apapun juga dalam menjalankan tugasnya. Bahkan kantor pun kadang-kadang tidak ada, jika tidak mengandalkan swadaya masyarakat sekitar. Istilah populernya, hanya bermodalkan dengkul. Kalau ada warga yang berantem, maka RT dan RW sendiri yang turun langsung. Jika kena pukul, maka itu risiko jabatan. Beda misalnya dengan lurah, yang masih mendapatkan instrumen negara seperti Satpol PP, PPSU, dan staff yang jumlahnya masih lumayan banyak. Makin naik, instrumennya makin mewah. Presiden punya menteri, tentara, polisi, dan lain-lain. RT dan RW? Semoga sehat dan panjang umur saja, jadi badannya masih bisa dipakai untuk wara-wiri mengurusi permasalahan warganya.

Sampai sini argumen crazy untuk RT dan RW sepertinya sudah terbukti. Lantas bagaimana dengan rich alias kaya? Bukankah kita baru saja berpanjang kata untuk menjelaskan betapa sedikitnya sumber daya yang dimiliki oleh RT dan RW? Memang benar, tapi itu jika kita hanya melihat dari sisi materi saja.

RT dan RW adalah orang-orang yang memiliki banyak tabungan. Dan apa sebutan kita untuk mereka yang memiliki banyak tabungan kalau bukan orang kaya alias rich? Tapi tabungan RT dan RW bukan uang, deposito, apalagi cryptocurrency. Tabungan RT dan RW adalah nilai ibadah. Untuk setiap andil RT dan RW kepada masyarakat, yang dilakukan dengan ikhlas dan tulus tanpa mendapatkan kompensasi apapun di dunia, maka ada nilai ibadah di situ. Dan, siapa yang lebih berkesempatan untuk membantu komunitas di sekitarnya kalau bukan RT dan RW? Ibaratnya, mereka memiliki ladang ibadah yang terbentang satu wilayah RT atau RW luasnya, yang dapat dipanen sewaktu-waktu dan tidak pernah habis. Walaupun bukan kaya harta, namun hitungannya tetap sebuah kekayaan.

Argumen kedua, agama mengajarkan kita tentang keutamaan-keutamaan silaturahim alias menjalin dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Salah satu keutamaannya adalah melapangkan rezeki dan memperpanjang usia. Sekali lagi, belum tentu hal ini dimaksudkan secara materiil atau duniawi, namun bukannya janji ini tidak berarti. Dilihat dari konteks yang lain, silaturahim juga memiliki kontribusi langsung terhadap persatuan dan kesatuan bangsa – barang yang menjadi semakin mahal harganya belakangan ini. Dan, siapakah orang yang paling memiliki kesempatan untuk menyambung tali silaturahim di dalam lingkungannya jika bukan RT dan RW? Kemanapun RT dan RW melangkah di wilayahnya, maka tetangga akan menghargai dan mengenal mereka layaknya saudara. Seketika, hidup seorang RT dan RW menjadi dikelilingi dengan keluarga di kanan dan kirinya. Bukankah itu adalah sebuah kekayaan?

Pada akhirnya, sebagian pembaca mungkin masih menganggap bahwa klaim crazy rich untuk RT dan RW di dalam tulisan ini masih terlalu jauh atau dipaksakan. Namun setidaknya usaha untuk membuat argumen ke arah tersebut sudah ada, sehingga judul tulisan ini tidak benar-benar menjadi clickbait. Dan, harapannya setelah menyelesaikan tulisan ini, pembaca jadi lebih bisa memahami dan menghargai orang-orang yang menjadi abdi masyarakat bermodalkan dengkul tersebut. Ayo semangat terus untuk para ketua dan pengurus RT, RW, LMK, PKK, karang taruna, posyandu, jumantik, dan mereka-mereka yang tidak kenal lelah berjuang selalu untuk orang-orang di sekitarnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun