Masa pacaran merupakan tahap untuk mengenal seseorang lebih intim dan personal sehingga mengetahui karakter asli seseorang. Fase ini juga sering kali diidentikkan dengan kehidupan penuh kisah romantisme. Sayangnya, banyak orang, terutama wanita yang malah mengalami manipulasi dan terjebak dalam hubungan yang toxic.
Fenomena toxic relationship ini tentu saja melibatkan perilaku abusive oleh pasangan. Baik abusive secara fisik, maupun verbal. Ironisnya, seringkali wanita tetap memilih bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan tersebut. Salah satu penyebabnya adalah Stockholm Syndrome yang dialami korban.
Saya pernah mengalami fenomena relasi yang toxic dengan domininasi manipulasi emosional dari lawan jenis. Saat awal-awal pertemuan, dia berlaku sangat manis dan berusaha menjadi solusi atas banyak hal. Hujanan pujian dan perjuangan dihadirkannya, yang baru saya pahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari love bombing.
Sebagai wanita yang sangat senang diperjuangkan dan dihargai tentu saja saya mulai luluh atas banyak hal yang dilakukannya. Sayangnya ditengah perjalanan, dia mulai menunjukan mixed signal, kehadirannya on dan off.
Akan tetapi, mengingat di awal dia hadir dengan banyak solusi saya pun mencoba mengingatkan diri bahwa dia pribadi yang baik. Seringkali jadinya saya merasa bersalah, dan merasa gelisah serta mempertanyakan diriku setiap kali dia “off komunikasi”.
Banyak ketidakkonsistenan dalam perlakuannya, berbeda dari awal. Misalnya ketika diawal kita menyepakati jika ada salah seorang dari kita yang menelepon di saat kita tidak bisa merespon, maka harus menelepon balik atau minimal meninggalkan pesan. Namun, hal itu sudah tidak dilakukannya lagi. Dia mulai susah dihubungi, suka bad mood, dan membuat orang merasa bersalah.
Selain itu, dia mulai melakukan hal yang buatku merasa tidak nyaman. Tiap kali aku mengungkapkan ketidaknyamananku dengan perlakuannya, dia akan marah, mengatakan aku keras kepala, suka drama. Belum lagi, ketika aku berbagi tentang pencapaian kerjaku dia tidak mengapresiasi bahkan cenderung meremehkan usaha yang kulakukan.
Diawal pertemuan, saya memang menceritakan kepadanya bahwa saya sedang dalam pemulihan kondisi mental, efek daddy issue yang saya miliki ke psikiater, dengan maksud jika dia tidak berniat denganku bisa memilih pergi. Saya juga memberitahu bahwa saya sangat insecure dengan bentuk tubuhku karena memiliki pengalaman buruk tentang tubuhku. Kedua hal ini malah dikunci olehnya sebagai alat untuk melemahkan dan memojokkanku.
Ada suatu moment dia terpojokkan karena berbohong dan berhasil terpojok dengan argumenku yang tidak bisa dibantahnya lagi. Dia merespon dengan marah besar (yang mana hal ini yang aku takuti sebagai bagian trauma masa kecilku) dan malah memojokkanku dengan mengatakan badanku gendut kayak ibu-ibu. Hal ini otomatis membuatku terdiam dan merasa insecure.
Di banyak kesempatan dia sering menyebutkan hal-hal yang membuat ku insecure dan terdiam namun di waktu yang sama dia berusaha memberi kenyamanan serta menanamkan bahwa tidak ada orang di luar sana yang akan bisa menerima diriku seperti dirinya karena saya memiliki banyak kekurangan.