Mohon tunggu...
rwp siska
rwp siska Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat perspektif yang terselip

Mari Mengencani Perspektif Saya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bongkar Strategi Pengakuan Presiden tentang Pelanggaran HAM Berat

17 Januari 2023   22:57 Diperbarui: 18 Januari 2023   10:30 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang adanya 12 (dua belas) pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi di masa lalu, (Rabu, 11/01/2023) mengundang berbagai opini publik. 

Adapun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu di antaranya: Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I -- II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA, Aceh 1999, Wasior, Papua 2001-2002, Wamena, Papua 2003, dan serta Jambo Keupok, Aceh 2003.

Publik berbondong-bondong menanggapi pengakuan presiden  ini dengan melontarkan opini positif dan negatif. Apresiasi positif disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa dengan menyambut baik pengakuan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pengakuan ini dinilai sebagai langkah optimis untuk menuju keadilan kepada para korban, terutama 3 (tiga) kasus yang menjadi sorotan PBB, yaitu penumpasan antikomunis 1965-1966, penembakan pengunjuk rasa 1982-1985, penghilangan paksa 1997 dan 1998, serta insiden Wamena di Papua pada 2003.

Organisasi Masyarakat Sipil atau Civil Society Organization (CSO) kenamaan pun memberikan pendapat masing-masing terkait hal ini. Kekhawatiran akan pengakuan presiden Jokowi atas pelanggaran HAM berat disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Pengakuan ini dinilai hanyalah pembaruan dari janji lama dan diprediksi akan membuka celah penyelesaian non-yudisial.

Tone negatif lainnya juga disampaikan SETARA. Pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden RI dinilai merupakan bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya di pemilihan presiden (Pilpres) 2014 ketika hendak mencalonkan diri sebagai presiden. Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyatakan, pengakuan presiden terhadap pelanggaran HAM masa lalu tersebut tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh pertanggungjawaban hukum yang jelas.

Penggunaan Diksi dalam Strategi Komunikasi

Pada penyampaian pesan dalam pidato Presiden Jokowi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu mencakup pemilihan kata atau diksi. Penggunaan diksi penting untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan untuk menimbulkan efek yang diharapkan (Kompas.com, 2021).

Ketepatan diksi berhubungan erat dengan makna kata dan kosa kata. Semakin banyak kosa kata yang diucapkan pembicara, semakin besar kebebasannya dalam memiliki kata dan berekspresi lewat kosa kata yang mewakili pemikirannya.Diksi yang tepat akan berdampak pada ketepatan makna pula.

Diksi merupakan kunci utama dalam menulis gagasan dan komunikasi secara lisan. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikan, baik secara lisan maupun tulisan. 

Pemilihan kata juga harus sesuai dengan situasi, kondisi, dan tempat penggunaan kata-kata itu. Diksi yang diubah dalam suatu kalimat dapat memberikan makna yang berbeda karena diksi berperan penting dalam mengungkapkan gagasan. 

Peran Diksi dalam Komunikasi Lisan Presiden Jokowi 

Terlepas pesan yang disampaikan presiden disusun oleh Tenaga Ahli Komunikasi atau Humas Kepresidenan, pasti mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar, termasuk kondisi psikologis. Hal ini tidak luput dari peran diksi dalam komunikasi lisan.

 "Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada 12 peristiwa"(penggalan pernyataan presiden)

Jika ditelusuri, dalam pernyataan presiden, kondisi psikologis komunikan atau audiens telah dijangkau. Strategi komunikasi yang dipilih adalah komunikasi persuasif dengan diksi tepat serta pertimbangan lingkungan. 

Lingkungan yang dimaksud adalah konteks situasional di mana proses komunikasi persuasif ini terjadi. Hal itu bisa berupa konteks historis, konteks fisik temporal, kejadian-kejadian kontemporer, impending events dan norma-norma sosiokultural (https://komunikasi.ub.ac.id). Dalam hal ini, presiden mempertimbangkan unsur konteks historis (peristiwa pelanggaran HAM berat) dan norma-norma sosiokultural utamanya (pengakuan pelanggaran HAM berat).

Jika ditelisik sekilas, faktor yang paling terlihat adalah mampu menegakkan kredibilitas sebagai kepala negara dan mampu berempati sebagai presiden kepada korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dengan tujuan utama memperkuat tanggapan.

 "Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus 

Saya sangat menyesalkan "

(Kemampuan berempati)  

"Saya sebagai Kepala Negara RI"

(Kredibilitas)

Dari aspek psikologis, diksi yang disajikan secara berulang-ulang dapat menumbuhkan proses conditioning pada proses komunikasi, yaitu dengan memunculkan rasa terbiasa sehingga individu akan lebih familiar terhadap kondisi tersebut ((https://komunikasi.ub.ac.id).

Strategi komunikasi persuasif yang digunakan oleh presiden Jokowi dalam pernyataannya, tidak selalu bermakna negatif. Melainkan komunikasi ini sebagai pilihan yang baik dalam menjangkau audiens, terutama korban pelanggaran HAM secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum.

Empati presiden juga ditunjukkan dengan diksi yang tepat, pengulangan diksi juga dilakukan dengan porsi yang pas, serta disampaikan secara lugas dan jelas, tidak bertele-tele. 

Sayangnya, meski memasukkan kata penyesalan, diksi yang diucapkan presiden dinilai belum memenuhi harapan para korban pelanggaran HAM Berat yang membutuhkan kata "maaf" secara eksplisit Padahal jika ditelusuri, kata penyesalan bisa juga diterjemahkan sebagai bentuk permintaan maaf.

Salah satu pemaknaan lebih jauh dari pernyataan presiden adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).

"Saya menghargai pengakuan dan penyesalan presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf". 

Secara umum, sikap empati presiden terhadap korban Pelanggaran HAM Berat di masa lalu sudah cukup representatif pada pernyataannya. Sayangnya, penggunaan diksi yang ada masih menciptakan ruang pemaknaan yang berbeda, baik tone positif atau negatif, tergantung perspektif komunikan. Dalam aspek pesan verbal, penggunaan diksi memengaruhi asumsi komunikan sehingga pemilihan kata harus dipertimbangkan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun