Kedua karya tersebut adalah segelintir cerminan kemahfuman beliau dalam menjawab isu dan tantangan pada lingkup global maupun nasional yang sedang berkembang saat ini.
Tinjauan yang umumnya beliau gunakan pun didasarkan pada comparative law, suatu model peninjauan yang kompleks, memperkaya substansi dengan memperbandingkan sistem dan aturan hukum yang berlaku di negara lain.
Pengetahuan di bidang hukum tata negara yang beliau miliki tidak hanya bersifat luas dan menyeluruh, melainkan merambat hingga ke akar permasalahan.
Ibu Susi adalah seorang tokoh yang mencintai ilmu, beliau tidak pernah membatasi cakrawala pemikirannya, sehingga menghasilkan pola berpikir yang bersifat objektif.
Gambaran demikian sejalan dengan pesan yang kerap beliau sampaikan kepada anak didiknya, bahwa dalam memahami ilmu, kuasailah secara komprehensif dan spesifik, tidak berhenti hanya pada b"kulitnya" saja.
![dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/09/whatsapp-image-2018-08-09-at-9-25-34-am-5b6bb0f8caf7db7140066494.jpeg?t=o&v=555)
Loyalitas Ibu Susi pada ilmu pengetahuan membawanya menjadi pribadi yang mampu berpikir secara objektif, sesuai dengan koridor disiplin ilmiah. Inilah alasan mengapa batang hidungnya jarang nampak di kancah media nasional, pun tidak bolak-balik masuk televisi.
Sebab, beliau tidak hendak menempatkan dirinya sebagai media darling. Dengan kecendekiaannya, dapat saja Ibu Susi meraup keuntungan dengan predikat profesornya, dalam arti "menjual" opini-opini yang "menyenangkan" pihak-pihak tertentu, terlebih di tahun-tahun politik seperti di masa sekarang.
Apalagi Ibu Susi adalah dosen yang gayanya "nyentrik" dan "gaul". Media mana tak terpanah? Namun, hal tersebut tidak dilakukannya.
Beliau vokal berpendapat tentang isu-isu yang berkembang di tanah air dengan meninjaunya secara jernih dan terlepas dari anasir-anasir tendensius.
Ibu Susi juga lebih memilih untuk aktif berkontribusi dalam mengembangkan ilmu hukum tata negara dan mendedikasikan dirinya sebagai seorang pendidik.