Mohon tunggu...
Violla Reininda
Violla Reininda Mohon Tunggu... Pengacara - Konversi isi kepala.

Junior Associate pada Refly Harun and Partners; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara; Instagram: @viorei_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nadia Lopez, Pendekatan Revolusioner Pendidikan, dan Apa yang Terjadi di Indonesia

7 Oktober 2016   11:04 Diperbarui: 7 Oktober 2016   11:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merealisasikan mantra “mendengarkan” dan “menunjukkan apa yang tidak diketahui oleh para murid” tentu tidak dilakukan Lopez di belakang meja kerjanya. Nadia Lopez, Kepala Sekolah MHBA, blusukan. Untuk memenangkan hati anak-anaknya, fisiknya hadir di depan mereka.

“Saya tidak ingin menjadi seseorang yang dikatakan oleh murid-murid seperti ini, ‘Aku tidak pernah berbicara dengan kepala sekolahku. Aku tidak pernah melihat kepala sekolahku.’ Bagi saya, hal ini tidak bisa diterima, sebab sebagai seorang pemimpin, Anda harus memimpin, Anda harus memperlihatkan batang hidung Anda, yang membuat orang percaya kepada Anda adalah keberadaan Anda.”

Blusukan ala Lopez dilakukan dengan mengajar di kelas. Selain itu, ia juga “berjalan-jalan” menelusuri lorong sekolah. Ketika bertemu dengan murid-muridnya, ia sekadar bilang, “Sore ini mau ke mana?” atau “Jam 4 sore ada acara TV favoritmu, ‘The Ellen Show’. Jangan lupa nonton ya!” Selain itu, apabila mendapati muridnya bermasalah, ia menegur mereka, secara personal, membawanya ke suatu tempat di mana hanya terdapat mereka berdua saja dan mulai mendengarkan keluh-kesahnya. Selain percakapan, blusukanLopez juga bisa berbentuk pelukan hangat untuk murid-muridnya.

Education Sets People Free

“Mendengarkan” dan “memperlihatkan” yang dilakukan oleh Lopez sesungguhnya adalah esensi pendidikan. Melalui kedua pendekatan tersebut, ia menempatkan sekolah sebagai rumah kedua untuk mengasah potensi dan menyempurnakan pribadi murid-muridnya, supaya di masa depan, mereka tidak berjalan beriringan dengan kekurangan-kekurangan tersebut. Apalagi, mengingat cerminan lingkungan Brownsville, tanpa Lopez mempertahankan anak-anaknya di dalam sekolah, mereka hanya akan terkekang menjadi budak ketidakberadaban. Pendidikan di sini juga hadir untuk melepaskan scholars MHBA dari rendahnya ekspektasi masyarakat terhadap mereka, di saat mereka mampu melampaui diri untuk menjadi apapun yang mereka cita-citakan, di saat mereka bisa berubah dan meninggalkan kesuraman di masa lalu mereka.

Keadaan di Indonesia juga menggambarkan kalau education sets people free, tetapi dalam makna yang berbeda. Pendidikan “membebaskan” anak-anak yang dianggap bandel –  dari yang ikut tawuran sampai geng motor – dari buku absen guru. Pendidikan “membebaskan” anak-anak yang hamil di luar nikah dan tidak lagi perawan dari kegiatan belajar mengajar. Pendidikan “membebaskan” tangan guru-guru untuk melayangkan hukuman fisik bagi muridnya yang katanya tidak mau diatur. Berbicara mengenai pemberian hukuman fisik, tidak bisa dibayangkan berapa banyak murid MHBA yang badannya memar apabila Lopez memilih menjadi seorang yang ringan tangan, ketimbang ringan telinga.

Pribadi seperti apa yang sebetulnya ingin dilahirkan dari sistem pendidikan yang demikian? Apabila menilik fakta bahwa murid-murid yang dianggap bermasalah malah “dibebaskan”, berarti mayoritas sekolah di Indonesia hanya menginginkan murid yang sudah sempurna fisik, mental, dan akal budi untuk duduk di bangkunya. Juga, hanya siswa cerdas cemerlang yang berhak mengeyam masa depan gemilang. Lantas, buat apa sekolah dibangun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?

Belum banyak tenaga pendidik yang menyadari betapa pentingnya mempraktikkan apa yang selama ini diupayakan oleh Nadia Lopez. Kebanyakan tenaga pendidik hanya mendekatkan diri kepada siswa-siswi yang dianggapnya pintar, kalau yang bersangkutan dianggap nakal, yang perhatian cuma guru BK (Bimbingan Konseling). Namun demikian, apabila murid Indonesia boleh jujur, pemahaman akademik lebih banyak didapatkan di tempat bimbingan belajar. Maka dari itu, peraih nilai UN terbesar pasti adalah murid di bimbingan belajar tertentu. Terkadang guru-guru lupa kalau anak muridnya dibuat pintar oleh guru bimbel, bukan oleh dirinya. Terkadang guru-guru juga lupa kalau tugas mereka lebih dari mengajar, tetapi mendidik. Bagi saudara yang pintar, motivasi untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke sana-sini rajin didengungkan oleh guru-guru. Akan tetapi, bagi siswa yang aktivitasnya tidak jauh-jauh dari ruangan BK, motivasi untuk pindah sekolah yang lebih mau menoleransi kekurangannya, lebih sering tertanam di telinga.

Mengingat Lopez adalah pimpinan tertinggi di sekolahnya, perlu disinggung juga mengenai keberadaan kepala sekolah dalam sistem pendidikan. Kepala sekolah di sini lebih banyak mengurus hal-hal yang bersifat administratif, misalnya perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, serta melaksanakan supervisi dan evaluasi, sebagaimana diamanahkan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Sekolah. Dengan tugas dan fungsi yang nyaris tidak bersentuhan dengan peserta didik, siswa-siswi tidak bisa berharap kepala sekolah di Indonesia bisa menjadi orang tua kedua layaknya Nadia Lopez. Dalam beberapa kasus, figur kepala sekolah pun bisa diposisikan layaknya lambang bendera merah putih di seragam anak sekolah masa kini, akibat kealpaannya. Berdasarkan pengalaman penulis, baik selama SMP maupun SMA, kepala sekolah hanya terlihat saat upacara bendera saja, itupun tidak selalu. Menyalami kepala sekolah saja bisa dihitung jari, apalagi dijamin bahwa yang bersangkutan dan segenap tenaga pendidik peduli akan masa depan siswa-siswi atau bahkan diingatkan nonton acara kesukaan di TV.

Mungkinkah pernyataan guru-guru penulis menggambarkan esensi kegiatan belajar mengajar di sekolah yang sesungguhnya? Misalnya, “Sekolah mahbukan untuk belajar, tapi untuk main. Kalau kalian mau belajar, di tempat bimbel (bimbingan belajar) aja,”? Atau “Tenang aja, sama saya mah nilai kalian pasti bagus. Kan yang penting gakremed(ial),”? Atau “Ada temenkalian anak geng motor, buat apa disekolahin di sekolah bagus kalau begitu,”? Atau “Kalian datang telat, sama aja seperti kriminal. Mau dikeluarkan dari sekolah ini?”? Jika memang esensi pendidikan di sini mendekati pernyataan tersebut, rasanya, “Tomorrow’s future is sitting in our classrooms, and they are our responsibility,” yang diucapkan oleh Lopez hanya bisa didengar di film Laskar Pelangi.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun