Dalam suatu buku yang berjudul "PSS SLEMAN : Cerita-Cerita Sementara Kau Tak Ada" yang ditulis oleh Tonggos Darurat, menceritakan suatu kisah sang penulis tentang "Hari Ibu yang Terlambat".
Dalam kisah tersebut, menceritakan bahwa izin seorang anak kepada ibunya untuk menonton pertandingan sepak bola adalah hal yang horor di telinga seorang ibu. Penulis membantah tulisan ini, karenanya tidak relevan dengan situasi terkini. Namun, berubah setelah 1 Oktober 2022. Tragedi Kanjuruhan, yang membuat tulisan tersebut sangatlah relevan.Â
Kalimat di chants Aremania "jangan kembali pulang,.... sebelum Arema menang,... walau harus mati di tengah lapang,..." itu benar-benar terjadi. Hingga keluar pernyataan resmi ada 125 korban jiwa pasca pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya malam itu, mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, pria maupun wanita menjadi korban dalam kejadian malam itu. Catatan 125 korban, menetapkan "Kanjuruhan Disaster" sebagai tragedi sepak bola terbesar ke-3 di dunia.Â
Malam itu, layaknya derby pada umumnya di Indonesia tim tamu  datang dengan mobil panser, suporter tim tamu dilarang hadir, dan tentu tensi pertandingan sangat keras dan tinggi.Â
Menurut penulis, pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya adalah pertandingan paling seru di Liga 1 musim ini. Pertandingan tersebut berakhir oleh kemenangan 2-3 untuk Persebaya Surabaya, sekaligur memecah rekor 23 tahun Persebaya Surabaya tidak pernah menang di Kanjuruhan, Malang.Â
Tentunya suporter tuan rumah, Aremania kecewa dan marah timnya kalah dan beberapa oknum masuk ke dalam lapangan meluapkan rasa kecewanya. Hingga meluap dengan jumlah yang besar, tembakan gas air mata dan sebagainya, dan kemudian 125 korban berjatuhan. Esok harinya, semua mata tertuju pada sepak bola Indonesia, termasuk presiden, FIFA, dan seluruh dunia.Â
Presiden Joko Widodo meminta Liga diberhentikan sementara hingga proses penyelidikan selesai, menurut presiden FIFA Ganni Infantino mengatakan bahwa tragedi ini adalah hari yang gelap di sepak bola, dan seluruh liga di dunia mengenakan ban hitam, bahkan di Eropa seperti Spanyol dan Belanda melakukan One minute silence untuk tragedi ini.Â
Dalam tuisan ini, penulis berpendapat bahwa waktu yang ada memang harus dimaksimalkan sebagai pembelajaran untuk kedepannya, menyalahkan suatu pihak tidak akan ada buntutnya karena kejadian sudah terjadi. Setidaknya harus mengevaluasi 3 hal, panitia pelaksana, edukasi suporter, dan protokol aparat.Â
Sebenarnya ada pihak yang bertanggung jawab atas sebuah keamanan pertandingan, yakni safety and security, tugasnya memahami segala aspek yang berkaitan dengan keamanan dalam satu pertandingan sepak bola, selain itu juga bertugas menyatukan presepsi antara regulator, penyelanggara, dan aparat keamanan.
Sebenarnya semua aturan itu telah jelas tertera dalam aturan FIFA Stadium and Security, dari pemahaman calon pertandingan masuk dalam kategori pertandingan yang mana, high risk, medium risk, atau low risk sampai aturan dilarangnya membawa dan menggunakan gas air mata bagi aparat keamanan. Dalam khasus pertandingan Arema FC dan Persebaya Surabaya adalah high risk sehingga penanganannya berbeda dengan pertandingan biasa.Â
Kapasitas stadion untuk high risk juga berbeda karena kemungkinan untuk overload atau berlebih sangatlah mungkin. Dalam pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya terlihat tibun overload, sehingga ada kejadian tersebut membuat berdesakan apalagi ketika adanya tembakan gas air mata dari aparat yang tak sesuai dari regulasi. Maka dari itu kejadian di Kanjuruhan harus menjadi pembelajaran khususnya kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab, seperti panpel, supporter, dan aparat.Â