Mohon tunggu...
Moh Zidni Ilman Nafia
Moh Zidni Ilman Nafia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

"Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". - Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Asal Usul Candi Agung Gumuk Kancil di Banyuwangi

17 Desember 2022   02:21 Diperbarui: 17 Desember 2022   02:36 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siapa sih yang tidak mengenal candi agung? Hampir semua masyarakat pasti sudah mengenalnya, terutama masyarakat Kabupaten Banyuwangi khususnya. Kami akan membahas asal usul candi agung gumuk kancil yang terletak di Banyuwangi

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menamai pura Agung Gumuk Kancil yang terletak di Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Pengunjung tidak hanya terbatas pada masyarakat Hindu setempat, tetapi juga banyak umat Hindu dari Bali yang bersembahyang di Pura Maharesi Markandeya. Konon, Rsi Markandya mengundang sekitar 800 jemaah untuk merantau ke Bali. Ketika sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih dan Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal karena penyakit. Usai bertapa, Rsi Markandiya dan beberapa pengikutnya kembali ke lereng Raung. 

Timbul rasa penasaran, para pengikutnya tiba-tiba tersadar dari mandi di lereng Raung. “Ini cerita tentang nama Sugihwaras (sugih = kaya, sana = sehat) yang kami dapat dari Bali,” kata Hadi Pranoto, sesepuh Hindu di Sugihwaras. Sebagian besar penduduk Sugihwaras saat ini beragama Hindu. Ada sekitar 113 rumah tangga dan dua candi kuno di tempat ini, Pura Giri Mulyo dan Pura Puncak Raung. Kepastian bekas kehidupan Markandiya di lereng Raung diketahui warga sekitar tahun 1966. Saat itu agama Hindu berkembang pasca pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI.

Pengikut ajaran Kejawen memilih agama Hindu sebagai standar sembahyang mereka. Setelah itu, warga sekitar menemukan lonceng kuningan di pinggir Hutan Raung, tepatnya Gumuk Kancil. Bagi umat Hindu di Sugihwara, Rsi Markandiya adalah panutannya. Untuk merayakan ajarannya, penduduk setempat membangun sebuah kuil di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Itu ada di puncak gunung. Tempat itu diyakini sebagai bekas pertapaan seharga Rs. Gumuk Kancil bisa mistis sejak zaman dahulu. Sebelum ada pura, para pengikut Kejawen sering beribadah di tempat ini. Pemburu buruan juga berdoa di sini sebelum berburu.

Dan sekarang tempat ini menjadi destinasi wisata masyarakat. Selain menjadi destinasi tempat ini juga dijadikan tempat pendidikan dan penelitian bagi para pelajar. Tempat ini setiap tahunnya memiliki peningkatan pengunjung. Dengan menjadikan Candi Agung sebagai destinasi wisata memberikan dampak positif akan pula terdapat dampak negatifnya.  Dampak positif dari Candi Agung sebagai Destinasi Wisata yaitu dapat menambah perekonomian masyarakat dan juga daerah Glenmore pada khususnya lebih dikenal masyarakat luar. 

Dampak positif dibidang perekonomian dapat dibuktikan bahwa Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, sekitar 1.773.527 orang mengunjungi Banyuwangi pada 2015, termasuk 450.569 dari luar negeri. Sembilan tahun kemudian pada tahun 2019, jumlah wisatawan meningkat secara signifikan. Lebih dari 5,4 juta wisatawan berkunjung ke Banyuwangi, termasuk 100.000 wisatawan mancanegara. Salah satu pendorong pertumbuhan tersebut adalah Banyuwangi Festival (B-Festival) yang menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sangat meningkatkan animo masyarakat ke Banyuwangi. 

Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan, jumlah industri kreatif juga meningkat. Pada tahun 2019, BPS menyatakan terdapat 296.000 UKM. Selain itu, jumlah hotel berbintang, restoran, dan homestay meningkat karena pengaruh industri pariwisata. “Banyuwangi banyak diminati investor karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti pertanian, perkebunan, pertambangan untuk sektor industri kreatif,” kata Tri Anggraini, Direktur Perencanaan dan Pengawasan Investasi Banyuwangi Investment Service.

Lokasi ini tidak jauh dari pusat kota Banyuwangi. Pura Agung Gumuk Kancil berdiri tinggi di Dataran Tinggi Glenmore sekitar 400 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Petilasan Maha Rsi Markendya di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Wilayah Administratif Banyuwangi. Candi pola Prambanan membutuhkan waktu 132 hari untuk dibangun dengan biaya Rs 150 crore. Diresmikan pada tanggal 11 Agustus 2002.Sekitar 400 umat Hindu dari sekitar 50 pura di Banyuwangi mengikuti Piodalan. 

Acara dimulai di Mendak Tirta Banyu Urip KPH Perhutani Banyuwangi Barat, 300 meter sebelah utara Pura Agung Gumuk Kancil. Kemudian prosesi Mendak Tirta tiba di pura Agung Gumuk Kancil, dilanjutkan dengan Gunungan yang harus mengelilingi pura sebanyak tiga kali. Saat acara Gunungan berlangsung, umat Hindu mulai berdatangan untuk menghadiri persembahyangan, sehingga dalam waktu singkat pekarangan pura Agung Gumuk Kancil sudah terisi penuh oleh warga yang berpakaian serba putih. 

Candi Agung Gumuk Kancil bertema Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai candi Hindu terbesar. Pura Agung Gumuk Kancil tidak hanya digunakan sebagai tempat peribadatan umat Hindu, tetapi juga bagi umat Kejawen yang mencari nasehat spiritual dari para pemangku kompleks pura melalui perbincangan dan meditasi. Made Kawit, salah satu pemandu Hindu di Gunung Raung di Banyuwangi, mengatakan, pura ini dulunya adalah pasrama, atau tempat Maharesi Markandeya berlatih yoga. Maharesi bersemedi di tempat ini sebelum melakukan Tirta Yatra ke Bali. 

Menurut dia, bangunan candi Agung Gumuk Kancil yang ada saat ini terbuat dari batu andesit yang didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali yang dibangun pada tahun 2001. Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jawa Tengah. Gabungan perkawinan putri Gunung Agung dengan putra Jawa Tengah. Selain itu, perpaduan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali kisah perjalanan ritual Maharesi Markandeya yang dimulai dari Jawa hingga Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun