Sudah sejak lama paradigma belajar berubah, dari belajarlah hingga ke negeri China dan gantungkan cita-citamu setinggi langit menjadi sekolah yang baik agar dapat pekerjaan baik. Kalau selepas sekolah tak bekerja apa kata dunia? Dan lain sebagainya.Â
Yang jelas, para orangtua seringnya mengarahkan anak-anaknya untuk sekolah yang langsung berhubungan dengan dunia kerja dan menjadi kebanggaan jika dalam tiga atau empat tahun selepas SMA atau sekolah kejuruan lainnya sudah langsung bisa bekerja.Â
Sarjana tak perlu, itu bisa ditempuh jika nanti sudah bekerja. Dan inilah yang kiranya ditangkap oleh Mendikbud sekaligus mantan bos Gojek, Nadiem Makarim dengan menganjurkan mahasiswa magang di organisasi kemasyarakatan (ormas) atau perusahaan. Dia menilai hal itu bisa menambah pengetahuan para mahasiswa.
Nadiem berkata kesempatan magang itu merupakan bagian dari Kampus Merdeka. Mahasiswa diharapkan tidak hanya belajar di ruang kelas, tapi juga di lapangan. "Sekarang kita merdeka, anak-anak kita bisa belajar di mana pun, di perusahaan-perusahaan hebat, di dalam NGO atau ormas yang hebat, maupun di institusi-institusi pendidikan lainnya yang bukan kampusnya dia. Ini kita menganjurkan," kata Nadiem.Â
Nadiem menjelaskan mahasiswa punya jatah 60 sistem kredit semester (SKS) atau setara 3 semester untuk belajar di luar kampus. Sebanyak 20 SKS bisa digunakan untuk belajar di program studi lain di kampus yang sama.Â
Lalu 40 SKS atau setara 2 semester bisa digunakan untuk magang, proyek di desa, mengajar di sekolah, pertukaran pelajar, penelitian, wirausaha, proyek independen, atau proyek kemanusiaan.
Merdeka Belajar selain Kampus Merdeka menjadi program unggulan Nadiem sejak dilantik menjadi Mendikbud pada 23 Oktober 2019, yang paling menonjol adalah dihapuskannya Ujian Nasional (UN) dan diganti Assesmen Nasional (AN).Â
Namun di kesempatan lain Nadiem justru menyarankan tak ada gunanya bayar Bimbel untuk Asesmen Nasional, sebab tak akan dijadikan sebagai syarat kelulusan sebagaimana sebelumnya. Semakin kentara program Belajar merdeka ini rasa agen penyalur tenaga kerja
Harapannya dengan Belajar Merdeka adalah,"Masa depan membutuhkan anak-anak yang punya wawasan yang lebar, yang bisa menampung berbagai macam disiplin, kemampuan interpisipliner. Sehingga mereka bisa memecahkan masalah di berbagai macam bidang,"(CNN Indonesia.com,22/1/2021).
Gebrakan demi gebarakan yang digagas jika ditelusuri lebih dalam bukan sebuah program yang mengarah kepada terwujudnya generasi tangguh pendukung peradaban mulia. Namun lebih kepada output terampil yang siap memecahkan masalah kehidupan yang berasas materi semata. Seolah kebahagian hidup hanya bisa diperoleh jika anak didik setelah lulus bisa bekerja di perusahaan bonafit dan segera menghasilkan uang. Sejatinya ini hanya level buruh atau sedikitnya menjadi pekerja terampil.Â
Sementara siapa generasi think tank? Merekalah yang menggagas pendidikan kapitalistik ini. Yaitu pemilik perusahaan besar yang ingin melejitkan profit perusahaan setinggi langit dengan biaya produksi yang murah namun berkualitas, itulah anak-anak didik kita.Â
Jangan harap muncul ilmuwan sekelas Ar-Razi, Al-Kindi dan ilmuwan Muslim lainnya. Sebab itu hanya akan mengancam hegemoni kekuasaan mereka di negeri-negeri jajahan mereka, termasuk negeri-negeri Muslim.Â
Banyak tokoh di negeri ini yang berusaha mengkritisi program Nadiem, diantaranya Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kebijakan Nadiem sangat berorientasi pasar bebas, terutama poin  mempermudah suatu kampus jadi PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum/PTN BH). Efeknya salah satunya akan mengeksklusi anak-anak dari kalangan tidak mampu (tirto.co.id, 20/1/2020).Â
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) Â saat menghadiri pengukuhan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjadi guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga berpendapat jangan menciptakan generasi muda yang lembek terkait penghapusan Ujian Nasioanal oleh Nadiem Karim.
Nyatanya anjing menggonggong kafilah berlalu, Nadiem berpendapat bahwa Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) bakal diganti dengan ujian akhir yang diterapkan di masing-masing sekolah. Namun, penilaian kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya).Â
"Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran," tambahnya (Tirto.id.com,11/12/2019).
Inilah wajah pendidikan Indonesia yang akan dipimpin Nadiem. Baginya gelar kesarjanaan tak penting sebab pengalaman bekerjalah dan wawasan yang luas yang amat sangat dibutuhkan saat ini. Saat Pandemi bisa jadi inilah langkah cemerlang, namun setelah pandemi akankah masih dalam pandangan yang sama jika sebagian besar generasi hanyalah pekerja kasar yang menjadi jongos perusahaan kafir? Dimana merdeka belajarnya jika masih didikte asing?
Pendidikan hari ini sebenarnya persoalan utamanya tak hanya urusan kerja atau tidak selepas sekolah. Namun justru terletak pada kurikulum, metode pendidikan, SDM pendidikan dan sarana prasarana pendidikan.Â
Berikutnya distribusi pendidikan juga masih menyisakan PR, sebab tidak merata, pendidikan berkualitas hanya dimiliki wilayah perkotaan sedang daerah terlebih pelosok tertinggal jauh.Â
Bukan semestinya jika pembiayaan pendidikan adalah hasil peralihan dana USBN, artinya pemerintah masih menghitung untung dan rugi dalam penyelenggaraan pendidikan dan ini bertentangan dengan amanah UUD 1945 pasal 31 ayat (1) Setiap warga berhak mendapat pendidikan; ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan.Â
Maka, selama politik demokrasi kapitalistik digunakan sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan maka bisa dipastikan akan mengalami kehancuran.Â
Semua ini butuh sistem yang tanpa kepentingan lain selain kemaslahatan umat. Sebuah peradaban maju bukan didukung dengan generasi yang pandai bekerja semata namun juga memiliki kualitas sempurna dari sisi akidah dan tsaqofah.Â
Dan hal demikian bisa kembali diadakan melalui pendidikan berbasis Islam secara Kaffah  yang  terintegrasi dengan sistem ekonomi,  kesehatan dan keamananyapun Islam. Sebab Islam sesungguhnya bukan hanya Dien namun juga solusi problematika umat.  Wallahu a'lam bish showab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI