Dikutip dari CNN Indonesia.com, 14 Oktober 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan hanya 9 persen masyarakat Indonesia yang mampu dan beruntung meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Ini berarti, hanya 24,3 juta orang yang mampu mengecap bangku kuliah dari total penduduk Indonesia yang tercatat sebanyak 270 juta.
Sri Mulyani juga  mengatakan mahasiswa lulusan Politeknik Keuangan Negara (PKN) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) masuk kelompok 9 persen masyarakat Indonesia yang beruntung itu. Dengan keberuntungan itu, lulusan PKN STAN dituntut untuk membangun dan memperbaiki negara.
"Kalian harus paham bahwa kalian bagian kecil masyarakat Indonesia yang beruntung untuk mengecap perguruan tinggi. Sebagai masyarakat yang beruntung, muncul tanggung besar," ungkap Sri Mulyani dalam Wisuda PKN STAN angkatan ke 31 secara virtual, Rabu (14/10).
Pendapat menteri Ekonomi diatas seakan hendak menegaskan politik apa yang sedang diterapkan oleh negara, ya! Politik timbal balik, Â Alumni STAN dituntut untuk berbakti kepada negara karena sudah menikmati uang negara, bahkan Sri Mulyani menambahkan pembiayaan itu hingga 100 persen. Seakan para alumni ini punya hutang dan negara adalah pemberi hutang (CNNIndonesia.com, 14/10/2020).
Soal pertanggungjawaban sebenarnya itu bukan perkara pokok, namun kemana sisa masyarakat sejumlah 91 persen yang lainnya? Sehingga pembangunan negara hanya ditanggungkan kepada lulusan STAN atau khususnya yang  hanya 9 persen?
Inilah logika tak masuk akal yang menyesatkan. Sebab perubahan negara menjadi negara maju, adil, sejahtera serta memiliki martabat bukan hanya berasal dari kaum cendekiawan semata. Namun kerjasama seluruh rakyat dan negara.Â
Terutama  negara yang memiliki paradigma kepemimpinan bukan manfaat semata, bukan masalah negara sudah beri apa dan kamu beri apa kenegara, namun Ra'in atau pelayan bagi rakyatnya.
Mengapa penguasa hari ini tak mencoba bermuhasabah,  di negeri yang kaya raya, SDA berlimpah SDM usia produktif pun tak kurang namun  tak mampu menciptakan generasi cerdas dan tangguh?
Jawabannya ada pada tata kelola negara yang tidak tepat, sebab dijalankan sesuai prinsip kapitalisme, yaitu kemanfaatan dan perhitungan untung rugi. Sekolah hari ini tak hanya menghadapi tergradasinya moral anak didik, namun juga kurikulum yang ambigu, target outputnya pun adalah mendapatkan pekerjaan. Mental yang dibangun adalah mental buruh, bukan pembelajar apalagi inovator.
Negara minim memberikan fasilitas, semua dibebankan pada sekolah, maka kini meskipun statusnya sekolah negeri (negara) mereka tetap memungut biaya operasional dari masyarakat.Â
Dan itu sudah jadi rahasia umum , bahwa setiap tahun ajaran baru akan ada sejumlah kompensasi yang dibayar oleh para wali murid. Di beberapa daerah memang sudah ada himbauan untuk tidak memungut, namun akhirnya tahu sama tahulah yang terjadi, begitu berganti istilah ( pembayaran investasi, sukarela dan lain-lain) praktik itu berjalan setiap tahun dan setiap generasi.
Kalau sudah posisi sekolah tak murni lembaga pendidikan namun juga lembaga keuangan, maka bisa dipastikan pendidikan adalah transaksi tawar menawar, bukan lagi kewajiban.Â
Dan inilah bukti nyata kelalaian negara dalam menjamin terselenggaranya pendidikan warganya. Tidak adil bukan jika kemudian sedikitnya kaum intelektual kemudian dituduhkan kepada rakyat?
Pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia. Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan ini  tanpa ada pembatasan, baik dalam akses mereka memperoleh pendidikan maupun tingkat pendidikan yang akan mereka ikuti. Negara wajib membiayai pendidikan bagi semua warga negara dengan gratis.
Hal ini dijelaskan dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: "(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Â
Berdasarkan pasal 31 ini, negara memiliki dua kewajiban yaitu: menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara, dan membiayai pendidikan bagi warga negara.
Menyelenggarakan pendidikan berarti negara harus menyediakan tempat/sekolah, pendidik, sarana dan prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar tersebut bisa berjalan.Â
Membiayai pendidikan artinya negara harus menyediakan dana/anggaran agar kegiatan belajar-mengajar yang melibatkan pendidik, sekolah, sarana dan prasana bisa teralisir.
Suksesnya pendidikan dalam sebuah negara memang harus didukung oleh sumber finansial yang kokoh. Maka dari itulah syariat menerapkan pengaturan mengenai kepemilikan.Â
Dimana kepemilikan negara dan umum harus dikelola oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pelayanan kebutuhan pokok rakyat salah satunya adalah pendidikan.
Kapitalis kembali tidak memberikan akses tersebut, karena hari ini, justru korporasi yang menguasai SDA indonesia yang berlimpah. Seandainya saja UU minerba, tambang dan bahkan Omnibuslaw berpihak pada rakyat, tentulah kini rakyat bisa hidup berkecukupan , berpendidikan dan benar-benar menjadi negara yang adil dan sejahtera. Wallahu a'lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H