Ujung-ujungnya rakyat diharuskan tetap membayar. Lantas apa artinya pengurangan dan penundaan. Negara masih hitungan untung rugi ketika memberikan pelayanan kepada rakyat. Padahal dari sisi rakyat ada yang samasekali tak mampu membayar biaya premi BPJS sebab mereka habiskan untuk kebutuhan pokok lainnya yang lebih mendesak misal makan dan biaya pulsa.
Lantas berapa persen yang bisa rutin membayar? Yang pasti tak akan mencapai 50% dari total masyarakat yang diwajibkan membayar premi. Bila sudah begini, apakah kebijakan di atas tepat sasaran? Jelas tidak! Dan kemudian mengklaim sudah mengurusi urusan rakyat dengan serius ? Semudah itukah?
Penyerahan urusan kepada swasta adalah ciri kapitalisme. Negara berdiri bagi kooperasi sebagai pemantau kebijakan sekaligus penjamin, jangan sampai ada yang dikeluhkan oleh kooperasi terkait dengan investasi di negri kita. Rakyat ada dimana? Rakyat adalah konsumen, mereka diharuskan bayar apapun yang menjadi kebutuhan pokoknya. Semakin sedikit negara memberi sudsidi dan keringan malah semakin bagus. Lihat saja, kebijakan pengurangan pembayaran hingga 99% baru hadir di masa pandemi.
Terlihat negara tak mau rugi sedikitpun dan memang itulah mekanisme kapitalisme dalam meriayah ( mengurusi) rakyatnya. Dan yang dimaksud dengan kebijakan ini untuk membantu menggerakkan perekonomian adalah kembali kepada mindset kapitalis bahwa sesuatu harus menghasilkan keuntungan, di saat rakyat tak terbebani dengan pembayaran premi maka mereka bisa beralih kepada pembelanjaan yang lainnya. Maka ketika transaksi jual beli kembali riuh itulah yang mereka maksud pemberdayaan ekonomi.
Jelas kembali subyeknya adalah rakyat. Padahal jika benar pengurangan pembayaran premi BPJS ini berlaku tentu rakyat masih ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi dan itu tak murah, seperti listrik, air, bahan kebutuhan pokok dan yang lainnya. Jika sudah begini, akankah kesejahteraan tercapai? Yang ada rakyat kembali dijadikan sapi perah dan siapa yang diuntungkan ? Koorporasi dan oknum pejabat, negara pun hanya alat guna memerah sapi.
Dalam sistem kapitalisme, ada pandangan yang berduit dan bermodal adalah swasta, sedang negara tidak. Padahal faktanya ada salah urus sehingga negara tak punya harta bahkan numpuk utang. Inilah alasan , begitu loyalnya negara kepada korporasi, sejak jajaran pejabat negara dan anggota parlemen menjalani pemilihan untuk duduk di kursi mereka hari ini sejak itu pulalah, perputaran dana milyaran berputar di seputar mereka. Politik oportunis berjalan, lobi-lobi politik jadi andalan.
Sedangkan Syariat Islam menetapkan ada kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang akan diatur negara. Dan dikembalikan kemanfaatnnya baik berupa jasa maupun barang kepada rakyat. Maka haram untuk mengubah status kedua kepemilikan tadi menjadi milik perseorangan. Apapun alasannya. Syar'i ( Allah) hanya memberi ijin pengaturan dalam rangka mewujudkan maslahat bagi umat dan negaralah sang pengurus, sebagaimana hadist berikut ini:
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari)
Makna raa'in (penggembala/pemimpin) adalah "penjaga" dan "yang diberi amanah" atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa'in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, "Setiap kamu adalah pemimpin" Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com, 07/07/2017).
Makna raa'in ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat. Wallahu a' lam bish showab.