Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pil Pahit untuk Rakyat

27 Agustus 2020   14:59 Diperbarui: 27 Agustus 2020   15:04 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak embun pagi yang hilang begitu cahaya mentari menyentuh rumput dan semua yang ada di sekitarnya.  Demikian pula dengan harapan rakyat terhadap pencairan bantuan subsidi upah Rp 600.000 perbulan yang dijanjikan pemerintah. Menguap tanpa kejelasan. Berganti hari nyatanya berganti realita kebijakan. Setelah sempat ditunda sebagaimana diumumkan menteri ketenagakerjaan, Ida Fauziah (CNN Indonesia, 25/8/2020) karena masalah sinkronisasi data. 

Sejak awal memang birokrasi rumit mengiringi peluncurannya, nyatanya hingga hari ini belum juga sampai dengan selamat di tangan rakyat.  Malah sebagaimana dilansir Kompas.com, 27 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menyebut bantuan subsidi ini sengaja diberikan kepada pekerja yang terdaftar dan taat membayar iuran BPJS Ketenaga kerjaan. Alasannya pemerintah ingin memberi apresiasi bagi perusahaan dan pekerja yang taat membayar iuran.

Para pekerja akan mendapatkan tambahan gaji dari pemerintah sebesar Rp 600.000 perbulan selama empat bulan. "Siapapun yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan secara aktif sampai Juni, itu akan diberikan,"tegas Jokowi. Seriuskah pemerintah dalam hal ini? Mengapa ada saja alasan pemerintah yang digunakan sebagai pembenaran ditundanya penyaluran sekian kali dari janji awal?

Terlebih jika ini disebut sebagai bantuan mengapa ada banyak prasyarat menyertainya. Padahal jelas, jika sesuatu itu disebut bantuan, itu karena ada  pihak yang akan menerima dalam keadaan tak mampu. Berapa banyak karyawan di negeri ini yang mampu membayar iuran BPJS secara rutin, sebab selain selalu terjadi kenaikan jumlah premi yang harus dibayarkan, pelayanannya juga berstrata sesuai kemampuan pembayaran premi.

Padahal di lapangan ,  jumlah tenaga kerja yang tidak berpenghasilan tetap lebih banyak. Jangankan untuk bayar iuran BPJS, untuk makan hari itu saja tak mampu. dan bagi mereka yang punya penghasilan tetappun tak menjamin mampu membayar secara rutin sebab keperluan yang lainnpun tak kalah mahal. baik itu kebutuhan pokok, keamaanan, air, listrik dan sekarang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat pandemi Covid-19.

Lantas apa guna kebijakan jika tak menjangkau seluruh rakyat, tentunya keadilan dan kesejahteraan harus ditegakkan sebagaimana  amanat Pancasila sila ke -5 yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan UUD 1945 pasal 34 dan pembukaan UUD 1945 yang juga salah satunya mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum dan kesejahteraan sosial.

Maka memang harus ada penyamaan persepsi tentang apa yang dimaksud dengan kesejahteraan dan siapa yang paling bertanggungjawab menjamin kesejahteraan ini. Sejahtera secara terjemah bebas artinya adalah kondisi rakyat suatu negara dalam keadaan mudah ketika memenuhi seluruh kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya.

Dan jika merujuk pada Pancasila dan UUD 1945, maka negaralah yang menjadi pihak paling bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan ini. Tentu dengan upaya dari negara secara mandiri. Bukan dengan menyerahkan pengurusan jaminan sejahtera pada pihak lain, dalam hal ini seperti BPJS, karena akan tak sesuai dengan amanat yang dimaksud. 

Juga bukan dengan jalan subsidi langsung yang hanya berjalan 4 bulan saja, sebab tanggung jawab negara tak hanya berhenti di situ. Butuh pengaturan yang shahih terkait pengurusan umat ini terlebih karena ini akan menyerap biaya yang tak sedikit. Maka posisi APBN negara harus stabil terlebih dahulu harus dirombak dari sisi pos pendapatanya, tidak lagi didasarkan pada utang luar negeri dan dengan tegas harus memutuskan hubungan luar negeri dengan negara-negara yang jelas hanya akan menguasai kita dengan sejumlah penjajahan baru dalam bentuk kerjasama.

Demikian pula kebijakan fiskal yang diterapkan negara, dengan adanya keringanan pajak dan subsisdi bagi pariwisata, pelaku bisnis dan UMKM jelas malah menjadi jebakan simalakama rakyat kecil. Sebab rakyat malah dijadikan pangsa pasar korporasi itu. Tanpa peduli kesulitan . Rakyat tak berhak menelan pil pahit lagi, yang artinya kesejahteraan harus segera di wujudkan dalam bentuk yang shahih  yaitu sesuai  pemilik keteraturan yaity Sang Khalik dan Pengatur manusia, hidup dan alam semesta. Wallahu a'lam bish showwab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun