Rasa was-was kini melingkupi banyak pihak yang memperjuangkan otonomi daerah, sebuah warisan penting reformasi yang selama ini menjadi benteng terakhir demokrasi lokal. Kebijakan-kebijakan yang mulai diterapkan di era kepemimpinan Prabowo Subianto mengundang tanya, bahkan ketakutan, tentang apakah desentralisasi yang telah lama diperjuangkan akan tergantikan oleh sentralisasi yang mengerdilkan peran pemerintah daerah.
Ketika Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengumumkan bahwa Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) akan ditarik ke pusat, publik mulai bertanya-tanya, untuk siapa sebenarnya kebijakan ini dibuat? Alasan swasembada pangan pada 2027 terdengar mulia, tetapi di balik narasi ini terselip bayangan gelap hilangnya kendali lokal atas sektor pertanian. Pemda yang selama ini memahami kebutuhan spesifik daerahnya kini hanya menjadi pelaksana tanpa suara.
Dampaknya mulai terasa. Petani di desa-desa terpencil harus menunggu arahan dari pusat untuk masalah yang seharusnya bisa diselesaikan cepat oleh PPL setempat. Responsivitas yang dulu menjadi kekuatan kini menjadi kelemahan. Petani bukan hanya kehilangan waktu, tetapi juga harapan. Di daerah-daerah yang infrastrukturnya masih tertinggal, kesenjangan semakin lebar. Pusat sibuk fokus pada wilayah strategis, sementara daerah terpencil hanya bisa menunggu dalam sunyi.
Tidak berhenti di sektor pertanian, sentralisasi juga menyentuh ranah riset. BRIN merencanakan pemindahan peneliti dari daerah ke pusat mulai Januari 2025. Langkah ini mungkin terlihat seperti upaya efisiensi, tetapi siapa yang akan menangani riset berbasis kearifan lokal? Peneliti-peneliti yang selama ini menjadi harapan daerah kini dihadapkan pada realitas bahwa kebutuhan lokal bukan lagi prioritas.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi jelas menekankan pentingnya kolaborasi antara pusat dan daerah dalam penelitian. Namun, kebijakan BRIN justru seperti mengabaikan semangat desentralisasi itu. Apa gunanya desentralisasi jika setiap langkah inovasi lokal harus tunduk pada keputusan pusat?
Sebagai puncak dari semua ini, pada 7 November 2024, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membuat pernyataan yang mengejutkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Daerah di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor. Ia menegaskan bahwa tidak ada visi atau program lain selain visi dan program Presiden Prabowo. Pernyataan ini menimbulkan polemik baru tentang ruang gerak pemda dalam mengembangkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Dalam sambutannya, Gibran menekankan pentingnya sinergi antara pusat dan daerah. Ia juga mengimbau para kepala daerah untuk mengesampingkan ego sektoral demi mencapai tujuan nasional. Namun, implikasinya jelas: kebijakan dan visi pemda harus tunduk sepenuhnya pada arahan pemerintah pusat. Bagaimana nasib masyarakat lokal jika pemda hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat tanpa fleksibilitas untuk menjawab kebutuhan wilayah mereka?
Otonomi daerah selama ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah bisa lebih dekat dengan masyarakat. Desentralisasi bukan sekadar soal pembagian kekuasaan, tetapi juga tentang memberikan kepercayaan kepada daerah untuk mengelola dirinya sendiri. Namun, sentralisasi yang kini sedang dibangun perlahan-lahan mencabut kepercayaan itu, meninggalkan pemda sebagai aktor yang terpinggirkan.
Kritik terhadap kebijakan-kebijakan ini semakin nyaring, namun pemerintah tampaknya lebih fokus pada efisiensi nasional. Sentralisasi mungkin terlihat sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah, tetapi dampak jangka panjangnya bisa sangat merusak. Hilangnya peran lokal berpotensi menciptakan jarak antara pemerintah dengan masyarakat, sebuah jarak yang selama ini berusaha dijembatani oleh otonomi daerah.
Kebijakan ini juga menempatkan masyarakat lokal dalam posisi yang tidak menguntungkan. Petani, peneliti, hingga pemimpin lokal harus menerima kenyataan bahwa suara mereka semakin kecil. Aspirasi masyarakat hanya menjadi deretan angka dalam laporan pusat, bukan lagi prioritas yang ditangani dengan empati.
Jika sentralisasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata akan terkikis habis. Pemerintah pusat mungkin mampu menjalankan visi besar, tetapi apakah mereka benar-benar memahami kebutuhan lokal yang beragam?
Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah mereka akan terus melangkah di jalan sentralisasi ini, ataukah mereka akan membuka dialog untuk mendengar suara daerah? Satu hal yang pasti, tanpa keseimbangan antara pusat dan daerah, keadilan dan keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia bisa berubah menjadi retakan yang sulit diperbaiki.
Dalam kebijakan-kebijakan ini tersimpan pertanyaan mendalam tentang masa depan Indonesia. Apakah kita akan menjadi bangsa yang bersatu dalam keberagaman, atau bangsa yang terkekang oleh satu suara? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah sejarah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H