Di pagi yang basah di hutan Leuser, gemerisik daun menyertai langkah perlahan seekor Harimau Sumatera. Raja rimba itu berjalan menyusuri jalur yang kian sempit, dikepung suara gergaji mesin di kejauhan. Nun jauh di Kalimantan, Pesut Mahakam melintas di permukaan sungai, menghela napas panjang sebelum kembali menyelam dalam sunyi. Mereka adalah wajah-wajah puspa dan satwa Indonesia yang kian tersingkir dari panggung alam.
Indonesia, negeri di mana hutan menjadi nafas dan laut menjadi nadi, menyimpan mahakarya alam yang tak ternilai. Dari puncak pegunungan Papua hingga perairan Raja Ampat yang berkilau, tanah ini adalah rumah bagi kehidupan yang melimpah. Sebagai negara megabiodiverse terbesar kedua setelah Brasil, Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 17% spesies burung dunia, 12% mamalia, dan 16% reptil. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki 21 tipe ekosistem alami dan 75 tipe vegetasi yang menjadikannya pusat kehidupan yang luar biasa kaya.
Namun, di balik keindahan ini, bayang-bayang kehilangan terus membayangi. Organisai Burung Indonesia melaporkan bahwa hampir separuh dari 1.826 spesies burung di Indonesia adalah endemik, begitu juga dengan 270 spesies mamalia dan 328 spesies reptil. Ironisnya, lebih dari 150.000 spesies flora dan fauna kini berstatus terancam punah dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Sebanyak 46.337 di antaranya berada di ujung kepunahan.
Dalam Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim, deforestasi, dan perburuan liar adalah faktor utama yang mempercepat penurunan keanekaragaman hayati. Dalam forum tersebut, Prof. Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, menyatakan bahwa "Hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem. Saat ini, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan".
Hilangnya hutan Indonesia bagaikan kehilangan jantung yang memompa kehidupan. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia kehilangan sekitar 104 ribu hektar hutan pada periode 2021-2022, sementara pada periode 2020-2021 kehilangan hutan mencapai 113,5 ribu hektar. Kehilangan ini setara dengan hampir dua kali luas Pulau Samosir. Setiap hektar yang hilang berarti rumah-rumah satwa yang hancur, pohon-pohon yang tumbang, dan emisi karbon yang terus meningkat.
Di Kalimantan, Pesut Mahakam kini hanya tersisa sekitar 80 ekor, berenang di sungai yang semakin tercemar. Sementara itu, Harimau Sumatera, simbol kegagahan hutan tropis, kehilangan hampir separuh populasinya dalam dua dekade terakhir. Jika ini terus berlanjut, Harimau Sumatera akan menyusul Harimau Jawa dan Harimau Bali yang kini hanya tinggal dalam catatan sejarah.
Lautan Indonesia pun merintih. Terumbu karang Raja Ampat yang disebut sebagai surga bawah laut mulai kehilangan warnanya. Pemutihan terumbu karang akibat naiknya suhu laut mengancam ekosistem yang menjadi rumah bagi ribuan spesies ikan. Ketika populasi ikan menurun hingga 40%, kehidupan nelayan pun ikut terguncang. Jika karang-karang ini terus rusak, akankah anak cucu kita hanya mengenal keajaiban laut Indonesia lewat foto usang?
Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya menjadi masalah ekologis, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial. Menurut laporan World Bank, kerusakan ekosistem yang terus berlangsung dapat mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 2% setiap tahunnya.
Sektor pariwisata berbasis alam seperti di Raja Ampat, Taman Nasional Komodo, dan Danau Toba berpotensi kehilangan jutaan wisatawan jika ekosistem ini rusak. Kehilangan ini bukan hanya soal keindahan alam, tetapi juga berimbas langsung pada pendapatan masyarakat lokal dan lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan perikanan.
Komunitas adat dan masyarakat yang hidup bergantung pada hutan dan laut juga menghadapi risiko besar. Ketika hutan menghilang, ancaman banjir, kekeringan, dan tanah longsor semakin tinggi. Sementara itu, nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan karena rusaknya ekosistem laut yang menjadi rumah ikan.
Solusi Dalam Konservasi
- Sensor AI dan eDNA