Mohon tunggu...
Ruth Anggraeni Putri Lahade
Ruth Anggraeni Putri Lahade Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Mencoba untuk memberikan opini seputar komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Generasi Z dan Tantangan Polarisasi di Media Sosial

5 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 5 Desember 2024   14:10 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Manusia berinteraksi melalui media sosial ( Sumber : Freepik)

Indonesia dinobatkan sebagai negara ke 4 pengguna internet terbanyak di dunia. Menurut laporan We Are Social (2024) sebanyak 66,5% masyarakat Indonesia menggunakan internet dan generasi Z sebagai pengguna terbanyak. Generasi Z atau yang sering kita panggil Gen Z adalah generasi yang lahir di tahun 1997-2012. Gen Z terkenal akan kemahirannya dalam menggunakan teknologi sehingga generasi ini disebut juga sebagai digital native.  

Kemahiran gen Z menggunakan teknologi terutama untuk berselancar di media sosial nyatanya tak selama nya berdampak baik bagi interaksi generasi tersebut. Survei Misinformation Susceptibility Test atau MIST yang dikembangkan oleh psikolog di Universitas Cambridge menunjukan bahwa gen Z lebih rentan terkena berita hoax daripada orang tua.

 Cahterine Beauvais (2022) dalam penelitian nya bertajuk Fake News : Why Do We Believe it? Menunjukan bahwa seseorang akan lebih bertahan/percaya dengan berita hoax dikarenakan beberapa faktor yakni kognitif (konfirmasi bias), pendidikan yang rendah serta emosional. Kurangnya kecerdasan emosional dan kognitif seseorang maka berita hoax dapat menyebabkan polarisasi dalam masyarakat.

Polarisasi dalam media sosial adalah fenomena di mana pengguna terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pandangan atau keyakinan tertentu, sering kali memperkuat perbedaan dan mengurangi kemungkinan dialog atau pemahaman lintas kelompok.

 Contoh dari polarisasi di media sosial terlihat dari fenomena berita hoax Covid-19 dan kampanye presiden 2019 yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi menjadi dua kubu yang sangat bertentangan. Apalagi saat ini, dengan adanya fitur bubble (algoritma) akan semakin mudah berita hoax mempolarisasi media digital.

Filter bubble adalah sebuah algoritma sistem yang memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan konten serupa sesuai dengan perilakunya ketika menggunakan layanan internet dan web. Sarjana bernama Pariser merupakan orang pertama yang mulai memahami keberadaan algoritma ini ketika menganalisis aktivitas teman-temannya di Facebook. 

Ia menyadari bahwa sistem lebih sering menampilkan unggahan dari teman-temannya yang berpandangan liberal dibandingkan dengan mereka yang memiliki pandangan konservatif.

 hal itu dikarenakan "algoritma sistem" tahu topik apa yang sering klik di Facebook. Apa yang dialami Pariser tersebut dinamakan echo chamber (ruang gema) yakni fenomena yang terjadi ketika seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang sejalan dengan pandangannya sendiri.

Algoritma media sosial dapat menjadi celah penyebar berita hoax untuk memperkuat massa agar lebih percaya dengan berita yang dibuatnya. Orang dapat memanipulasi publik dengan algoritma dan ruang gema untu menyebarkan misinformasi. Cinelli et al (2021) menunjukan ruang gema memberikan efek pada penyebaran rumor dan misinformasi menjadi lebih cepat dan mempengaruhi polarisasi.

Bila kita kaitkan dengan teori ekologi media milik McLuhan yang menyatakan bahwa media secara umum dapat membentuk dan mengorganisir kebudayaan manusia, maka dalam hal ini dapat dikatakan media sosial mempengaruhi interaksi netizen di internet.  

Teori ekologi media berasumsi bahwa media komunikasi bukan sebagai media yang bebas nilai dalam menyampaikan informasi, setiap media memiliki karakteristik nya masing -- masing yang dapat merubah sebuah pesan diterima oleh penggunanya. 

Dalam hal ini, media sosial sebagai media komunikasi yang memiliki fitur algoritma menciptakan karakteristik yaitu ruang gema (echo chamber) sehingga pesan yang diterima pengguna berbeda -- beda berdasarkan algoritma nya. Untuk itu, benar apa yang dikatakan teori ini bahwa penguasaan pengguna terhadap karakteristik setiap media komunikasi menjadi hal yang wajib agar pengguna tidak terlena dengan sistem.

Generasi Z sebagai digital native perlu menguasai karakteristik media sosial terutama pengetahuan akan fitur bubble (algoritma). Generasi Z harus paham bahwa adanya algoritma akan menciptakan echo chamber dalam dirinya yang akan menjauhkan dirinya dengan informasi yang tak sesuai rekam jejak kata kunci miliknya. Situasi ini dapat menimbulkan sebuah konfirmasi bias dan fanatisme. 

Apabila kita kaji dalam teori psikologi, konfirmasi bias adalah kondisi dimana pengguna menemukan informasi yang memperkuat keyakinan dan sikap mereka sebelumnya.

Korban konfirmasi bias akan cenderung lebih mencari dan mengutamakan bukti/opini yang sesuai dengan nya daripada yang menentang dengan nya. Pemikiran ini akan menimbulkan sikap untuk berinteraksi dengan kelompok -- kelompok tertentu ( in group). Dalam konteks fitur bubble dam media sosial menurut Modgli (2024) platform ini memfasilitasi konfirmasi bias dan semakin mudah untuk memberdayakan kelompok -- kelompok yang terpolarisasi.

Tantangan generasi Z dalam menjalin interaksi di media sosial cukuplah besar terutama ketika media sosial dapat menjadi wadah terjadi nya polarisasi masyarakat digital. Generasi Z sebagai pengguna media sosial terbanyak dan rentan akan berita hoax akan menjadi sasaran empuk sebagai korban polarisasi. 

Ditambah lagi, fitur algoritma dalam media sosial memperkuat polarisasi di media sosial. Algoritma yang secara sistematis mengatur konten/pesan media agar sesuai dengan keinginan pengguna dapat menciptakan ruang gema yang akhirnya menggerogoti logika kritis pengguna.

Pengguna yang terlanjur tak kritis dan termakan bias informasi akhirnya menciptakan konfirmasi bias dan akhirnya terjadi polarisasi. Konfirmasi bias pengguna akan menutup idealis media sosial sebagai ruang publik, dimana media sosial harus menjadi ruang netral dan menjunjung tinggi hak ekspresi para pengguna. 

Adanya konfirmasi bias nampaknya mengurung hak berekspresi secara setara kerena pengguna sendiri enggan mendengarkan atau berinteraksi dengan orang lain ketika mereka berbeda pendapat. Akhirnya, interaksi media sosial akan terbentuk berdasarkan kubu -- kubu dan ujung nya akan terpolarisasi. Antar kubu tidak akan mendapatkan konsesus karena kubu tersebut terbentuk dari konfirmasi bias.

Selain itu, berita hoax juga menjadi tantangan yang harus diwaspadai generasi Z dalam berintekasi di media sosial. Hal ini karena, akar dari polarisasi bisa berasal dari ruang gema berita hoax yang akhirnya marak dan membentuk sebuah kelompok percaya berita hoax.

 Jangan sampai, generasi Z termakan ruang gema berita hoax tersebut. Generasi Z harus selalu kritis dan meningkatkan kemahiran dalam menggunakan media sosial agar dapat hidup berdampingan dengan media.

Seperti hal nya yang dikatakan dalam teori ekologi media, yakni dimana media memiliki karakteristik unik mulai dari bentuk fisik, teknis penggunaan, simbol, hingga lingkungan yang ada di sekitafr media itu. 

Karakteristik-karakteristik tersebut nantinya akan memberikan pengaruh terhadap cara suatu informasi disimpan, dikonsumsi, disebarkan, dibuat, dan dalam tataran yang lebih luas akan berpengaruh pada cara manusia untuk saling berkomunikasi satu dengan yang lain. Sehingga, bila generasi Z tidak dapat memahami karakteristik media sosial maka akan sulit generasi Z melakukan komunikasi dengan baik, bisa jadi generasi Z menjadi korban media sosial.

Referensi :

Beauvais, C. (2022). Fake news: Why do we believe it? Joint Bone Spine, 89(4), 105371. https://doi.org/10.1016/j.jbspin.2022.105371

Cinelli, M., De Francisci Morales, G., Galeazzi, A., Quattrociocchi, W., & Starnini, M. (2021). The echo chamber effect on social media. Proceedings of the National Academy of Sciences, 118(9). https://doi.org/10.1073/pnas.2023301118

Modgil, S., Singh, R. K., Gupta, S., & Dennehy, D. (2024). A Confirmation Bias View on Social Media Induced Polarisation During Covid-19. Information Systems Frontiers, 26(2), 417--441. https://doi.org/10.1007/s10796-021-10222-9

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun