Dipuput oleh tulisannya Ellen Maringka tentang Manado ini, saya coba paparkan tentang Manado sejauh pengetahuan, pengalaman dan pandangan saya.
Sebagai Kota kedua setelah Karawang, baik dalam tinjauan historis atau filosofis. Kenapa Karawang? Padahal saya lahir dan dibesarkan di Sukamandi, Subang, sebuah tempat bersahaja di peisir utara Jawa Barat? Kan saya bilang tadi ‘Kota’, kota yang paling saya kenal seluk beluknya adalah Karawang sebagai tempat kuliah saya dan Manado sebagai tempat hati ini berlabuh. Saya juga tidak akan latah bernostalgia tentang bagaimana pertama kali saya menginjakkan kaki di Manado. Biasanya pelancong yang menuliskan kesan-kesan perjalanan. Saya akan menuliskannya dari sudut pandang sebagai penduduk/warga kota Manado karena Dinas Kependudukan masih mencatat saya sebagai warga Lingkungan 1 Kelurahan Ranomuut, Kecamatan Tikala. Sebentar lagi mungkin status kependudukan akan berpindah ke Desa Buyat Kabupaten Bolaangmongondow Timur, sebuah desa di tepian Samudra Pasifik, pesisir selatan Jazirah Sulawesi Utara.
Beberapa hal yang berhasil saya catat tentang masyarakat Manado:
1.Jangan tanyakan nama jalan kepada warga kota Manado saat bertanya alamat suatu tempat. Kebanyakan orang akan kebingungan menjawab. Saya sudah pernah test nama-nama jalan pada teman-teman di Manado, bahkan untuk nama jalan yang sehari-hari mereka lalui kadang bingung menjawab. Padahal pemerintah kota memasang papan nama jalan-jalan tersebut si setiap persimpangan. Atau bisa dibaca di tiap papan nama insansi atau perusahaan di pinggir-pinggir jalan. Mereka akan dengan cepat menjawab jika ditanyakan nama wilayah atau sebutan suatu wilayah serta bangunan atau monumen sebagai penanda, sepertiLapangan Tikala (Padahal nama sebenarnya Lapangan Sparta), Boulevard (Jl. Piere Tendean) atau Stasiun -wilayah yang merentang di penghujung Jl. Sam Ratulangi, mulai dari pertigaan Kimia Farma (Jl. Korengkeng dan Jl. Sam Ratulangi sampai tugu ‘zero point’-perpotongan Jl. Sam Ratu Langi dengan Jl. Sudirman, entah sudirman mana yang dimaksud. Sudirman tokoh bulu tangkis atau panglima besar Jendral Sudriman)-. Untuk yang satu ini bisa menyebabkan kebingungan bagi mereka yang baru mendengarnya. Biasanya dalam dunia transportasi sebutan stasiun adalah untuk tempat pemberhentian dan keberangkatan kereta. Bisa juga sebagai gedung pemancar dalam Telekomunikasi…CMIIW. Kalau saya amati sepertinya wilayah itu di Manado tempat persinggungan semua jalur angkutan kota yang menuju pusat kota.
2.Bagi anda yang Muslim, perhatikan baik-baik sebelum masuk ke Rumah Makan atau Kedai Makanan. Untuk masalah makanan di Manado bagi Muslim memang harus hati-hati dan selektif. Misalnya tiba-tiba perut anda keroncongan saat anda sedang melintas di Jl. Garuda yang sering kali macet, jika dilanjutkan menuju restoran fast food terdekat di kawasan Stasiun anda harus menahan lapar paling tidak 15 menit lagi. Itupun kalau di Samrat lalu lintas lancar. Saya sarankan lebih baik lanjutkan perjalanan. Sebab di kawasan Jl. Garuda mustahil ditemukan kedai makan Halal bagi Muslim. Jangan buru-buru tergoda dengan papan nama ‘Sedia Mie Ba’. Karena bahan dasar Mie Ba adalah daging babi. Ada juga coto makasar di ujung jalan garuda, sebelah kiri, tepat di pertigaan Jl. Toar dan Jl. Garuda. Pengalaman saya waktu pertama kali makan di Manado adalah saat di traktir sarapan pagi oleh atasan saya yang kebetulan pemeluk Katolik. Saya nurut saja dan duduk manis di sebuah warung nasi kuning terkenal di Manado. Awalnya saya tidak pernah tau kalau salah satu menu sarapan di Manado adalah Nasi Kuning. Sejenisa Nasi Uduk, berwarna kuning, di tabur irisan kentang goreng. Untuk lauknya ada yang pake daging atau telor. Kebetulan waktu itu disajikan untuk saya Nasi Kuning daging. Agak ragu tapi sungkan buat bertanya, aku makan sedikit nasi kuning itu setelah menyingkirkan dagingnya. Tidak kuperhatikan benar sekitar isi warung makan itu. Belakangan baru aku tahu bahwa itulah warung nasi kuning Seroja. Warung Nasi Kuning yang sangat terkenal di Manado. Dan saya yakin pengelolanya adalah seorang Muslim. Saya bisa pastikan dari cerita teman-teman dan melihat dekorasi kaligrafi di dalam warung yang luput dari perhatianku saat pertama makan di sana. Itulah hal pertama yang paling saya ingat saat pertama kali ke Manado.
3.Hindari daerah-daerah tertentu, terutama lorong-lorong pemukiman, saat hari Minggu sore apalagi malam minggu kalau tidak ingin menjadi korban pembacokan atau penikaman. Seingat saya seperti yang di wanti-wanti teman saya, di Manado ada daerah-daerah rawan, diantaranya; lorong Anoa (ANak Otak Anjing), Lorong Majalah-disebut demikian karena di lorong itu terkenal banyak residivis dengan tato di sekujur tubuhnya-, dan yang terbaru adalah Lorong Rex Mundi –jalan by pass sepanjang lebih kurang 200m yang menghubungkan Jl. Sam Ratulangi tepatnya di samping Sekolah Rex Mundi dengan Jl. Piere tendean tepatnya di depan kawasan Mega Mall.Penjambretan, penodongan dan perampokan acapkali terjadi di lorong ini.
Gaya hidup yang kebarat-baratan sebagai warisan budaya kolonial, masyarakat Manado sangat kental dengan acara mabuk-mabukan. Minuman keras dari berbagai jenis sangat mudah di dapat, mulai dari toko-toko kecil sampai supermarket. Apalagi minuman tradisional ‘cap tikus’, dengan uang 10 ribu bisa dapat 1 botol minuman mineral isi 300ml. Campurkan saja dengan ‘Kasegaran’ , Bir Hitam, Krating Deng atau Coca Cola. Tidak perlu heran jika di sudut-sudut kota atau di beranda-beranda rumah di perkampungan ada orang-orang berkumpul dengan botol-botol berderet di meja. Tandanya mereka sedang bersosialisasi dengan cara ‘Bagate’. Mereka yang kurang menguasai seni minum minuman keras atau mereka yang newbie dan baru coba-coba, biasanya sering kali kurang bisa mengendalikan diri sehingga sering berbuat onar. Biasanya senior yang masih kontrol akan mengawalnya sebagai bentuk solidaritas. Pengalaman saya berkumpul bersama dalam tongkrongan ‘Bagate’ malam-malam di kampung di luar kota Manado malah mengharukan. Saat sedang asik berkumpul dan bercerita, gelas minuman sudah beberapa kali putaran minum bergantian dan selalu berhasil aku lewatkan, seorang pemuda datang bergabung dengan kondisi sudah sempoyongan langsung mengambil alih kendali putaran gelas. Dan, tibalah giliran saya pemuda itu memaksa. Saya tetap menolak. Pemuda itu memaki-maki dengan kata-kata kasar khas Manado (tidak perlu saya tuliskan kata-katanya, ya….). Tiba-tiba dia menyerang saya, “Pe M**! Ta tumbu pa ngana,” hardik pemuda itu. Teman saya langsung menghalangi. Pemuda itu langsung dibawa pergi dan untuk menghindari situasi yang lebih gawat, saya diantar pulang. Keesokan harinya, pemuda itu ketemu dan meminta maaf walaupun dia tidak begitu ingat bagaimana kejadian persisnya. Miras memang sudah menjadi momok di sana. Sampai-sampai kepolisian menggulirkan program ‘Brenti Jo Bagate’. Kalau saya tidak salah
4.Menjalin hubungan khusus dengan wanita Manado? Itu hak anda. Tapi waspadai pengeluaran anda. Saya kira wajar jika hanya makan, nonton atau ongkos taksi. Sebagai permulaan ketidakwajaran pembiayaan adalah 'Kak, ini pulsa terakhir ade. Ade so nda bisa balas kakak pe sms. So nda ada pulsa'. Demi gengsi atau sudah terlanjur cinta mati, maka meluncurlah 10, 20 bahkan 50 ribu ke nomer ‘ade’. Yaa, kalau anda pengusaha pertambangan atau punya SPBU tiga tempat mungkin tidak masalah.Alih-alih pulsa, mungkin kostan mewah di seputaran Dendengan atau Tikala bakal anda sewakan untuk ‘ade’. Berarti sangat sebanding. Tapi, kalau hidup anda hanya mengandalkan gaji, secepatnya ucapkan sayonara pada ‘ade’ model begini. Di dalam kehidupan pergaulan Manado aksi ini dikenal dengan sebutan 'bacukur'. Sebuah analogi yang tepat, kegiatan menghilangkan bulu-bulu di area tubuh tertentu yang dikehendaki. Berbeda dengan potong rambut yang masih menyisakan bagian yang dipotong menjadi model yang disukai dan menjadi bagus. Biasa disebut 'bagunting', bukan 'bapotong'. Kalau bapotong biasanya dipakai untuk menerangkan tentang peristiwa menyalib kendaraan atau melintas jalur yang sedang kita tempuh. Kembali pada masalah ‘bacukur’ tadi, dalam tinjauan sosiologis mungkin disebabkan oleh tekanan gaya hidup glamor dan bermewah mewah. Ini memang sudah menjadi endemik di berbagai kota besar dimana pun, bukan hanya Manado. Kebetulan saja saya pernah jadi korban aksi ‘bacukur’. Lelaki dari tanah Pasundan yang halus,lembut,lugu dan polos seperti saya ini (hehehehe….biasa ‘sagara nguyahan sorangan, lain?’), ditambah silau oleh 'hole hole' gadis Manado ( 'e' dibaca seperti membaca 'teh', artinya paha. Yang paling umum 'pala-pala') adalah target empuk. Jadi saya faham betul seperti apa aksi itu berjalan. (Masalah ini ga usah diterusin ya. Nti malah dikira curhat lagi). Intinya adalah...waspada, waspadalah….(Sepertinya pesan ini berlaku untuk di semua Kota….).
5.Tidak perlu sibuk menyiapkan uang receh jika berkeliling kota Manado. Di kota-kota lain mungkin anda harus menyiapkan uang koin 500 atau 1000 rupiah buat pengemis atau pengamen jalanan di lampu-lampu perempatan atau di depan pusat pertokoan. Di Manado, singkirkan semua bayangan kota yang kumuh, gersang dan semrawut. Panas? Sudah pasti. Wong…kota di tepi pantai. Tapi tidak gersang atau berdebu. Macet? Mungkin 2 atau 3 tahun terakhir ini saja terasa sekali macetnya. Terutama di saat jam-jam berngkat dan pulang kerja atau sekolah. Terjadi di titik-titik tertentu, seperti Persimpangan Paal Dua atau Monumen Patung Kuda menjalar sampai Jl. Sudirman dan Jl. Balai Kota. Pusat Kota? Jangan tanya lagi…Jl. Sarapung lebih gawat lagi. Mengenai Gepeng (gelandangan dan pengemis) hanya terlihat di kawasan pasar 45. Itu pun tidak terlalu mencolok. Petugas Satpol PP selalu siaga di seputaran Taman Kerukunan Bersama.
6.Pedagang Kaki Lima? Maksudnya yang pake gerobak di pinggir-pinggir jalan? Atau asongan? Bisanya bejibun di depan jalan pusat-pusat perbelanjaan. Di Manado Cuma ada di sekitar pasar 45, di depan pasar swalayan Jumbo atau di area Stasiun tadi. Untuk perbelanjaan sepertiHypermart, Matahari dan perbelanjaan lain sepanjang Boulevard saya belum pernah lihat.
7.Punya istri simpanan atau cewek simpanan di Manado? Ga usah kawatir diusilin tetangga. Jangan kan di kota, dipelosok kampung pun dijamin aman. Istilah di sana adalah ‘bahugel’. Asal kata dari hugel atau hubungan gelap. Ditambah dengan awalan ‘ba-‘ padanan kata dari ‘ber-‘ dalam bahasa indonesia, maka jadilah ‘ber-hugel’ atau ‘bahugel’. Lebih kurang seperti itulah…saya juga bukan ahli bahasa. Masyarakat di sana memang sangat menghargai privasi orang lain. Jadi kegiatan pribadi kita sangat-sangat aman…..yuuuuk….
Sekian, semoga bermanfaat. Tulisan ini dimaksudkan sebagai panduan buat teman-teman yang mau berwisata atau tinggal di Manado. Barangkali ada yang mau menambahkan? Silahkan….
Bahan-bahan tulisan ini bukan bersumber dari hasil riset, tapi dari hasil ‘bakarlota’ di dego-dego tua….jadi ada kemungkinan salah. Saya mohon maaf jika salah. Tapi kalau ingin membuktikan kebenarannya, silahkan berbondong-bondong berwisata ke Manado atau rame-beristri orang Manado…wkwkwkwkwkwk…..
bakarlota=kegiatan ngobrol-ngobrol. diadaptasi dari salah satu tokoh telenovela yang populer di tahun 90-an yaitu carlotta. Berperan sebagai perempuan tukang gosip.... CMIIW!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H