trauma yang diidap oleh para penyintas perlu dilakukan kepada siapapun dan dimanapun kekejian tersebut dilakukan. Tidak terkecuali kepada mereka yang merasa terancam dirumah mereka sendiri, selayaknya kampus menjadi rumah yang tidak lagi aman bagi para mahasiswanya. Hak-hak mereka untuk bebas dari diskriminasi atas pilihan mereka sendiri kerap direnggut dengan banyaknya manusia-manusia yang tidak mampu memeberantas nafsu predatornya.
Dibawah bayang-bayang maraknya kasus kekerasan seksual, pemberantasan akar dari munculnya benih-benihPilihan penampilan dan berpakian menjadi sangat terbatas akibat masih berkeliarannya aktor pelecehan di kampus. Para predator seksual berkamuflase dalam kehidupan kampus sehari-hari dan dengan motif serta target yang kerap tidak dapat dideteksi algoritmanya. Otoritas tertinggi pendidikan di Indonesia mencatat sebanyak 65 kasus pelecehan seksual masih terjadi di lingkup perguruan tinggi pada pertengahan tahun 2023.
Berkaca dari persoalan tersebut, intervensi negara dalam memproduksi regulasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk imunitas kampus terhadap pelaku dan juga korban dari tindakan kepredatoran tersebut. Tercatat 77% kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup kampus dan 63% dari total korban keseluruhan memilih bungkam dalam ketakutan.
Selaras dengan melambungnya temuan kasus tersebut, Pemerintah telah menerbitkan Permendikbud No.30 tahun 2021 sebagai ikhtiar untuk merebut ruang akademik dari nafsu bejat para predator seksual. Paparan Pusat Penguatan Karakter (Puspeka menyebutkan telah sebanyak 126 perguruan tinggi negeri telah membentuk satuan tugas yang difungsikan untuk menjaga imunitas kampus dari para predator seksual yang bernama Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual).
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kampus yang berdiri megah di DKI Jakarta, turut membentuk Satgas PPKS dengan tujuan untuk membuat imunitas terhadap predator seksual melalui Peraturan Rektor No. 7 tahun 2021. Langkah tepat untuk mencegah maraknya kasus kekerasan seksual mengingat provinsi DKI Jakarta masuk dalam 10 provinsi dengan kasus kekerasan seksual terbanyak di Indonesia, sebanyak 59 kasus temuan sebagaimana dikutip dari Kompas.
Kendati demikian, mengkritsi upaya pewujudan harapan terbentuknya imunitas kampus yang bersih dari aktivitas kekreasan seksual perlu terus digulirkan sejak pembentukan Satgas PPKS pada 3 tahun silam. Upaya kritis tersebut menjadi langkah reimunisasi bagi UNJ untuk melindungi segenap civitas academicanya dari marak bahaya kekerasan seksual.
Dalam upaya reimunisasi ini, survey pada 13 Juli 2024 telah dilakukan kepada calon mahasiswa baru dan mahasiswa aktif dengan mempertimbangkan kategori responden dan kuisioner pertanyaan berdasarkan jenis kelamin serta orientasi gender. Pertanyaan yang digulirkan berkisar pada pemahaman mereka terhadap jenis-jenis kekerasan seksual yang mereka ketahui dan pengertian mereka terhadap bagaimana langkah-langkah advokasi apabila kasus kekerasan seksual menimpa diri mereka ataupun teman sebaya mereka.
Temuan tersebut nantinya dapat menjadi alat ukur seberapa besar kontribusi kampus dalam menata kehidupan kampus yang berpihak pada pembelaan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Pertanyaan seputar apakah kelompok laki-laki memiliki kemungkinan untuk menjadi salah satu kelompok yang rentan terhadap kasus-kasus serupa.
Hendrick, mahasiswa aktif asal Kalimantan yang berambut ikal, menyayangkan absennya peran Satgas PPKS di lingkungan kampusnya yang dilandaskan pada munculnya penghakiman sepihak.
“Kosongnya peran Satgas PPKS UNJ itu berdampak pada pelaku kekerasan seksual yang beberapa waktu lalu dihukum dengan cara pemukulan dan pengeroyokan oleh para teman se-fakultas penyintas. Padahal jika pihak kampus terlibat, setidaknya sanksi akademik akan dijatuhkan kepada sang pelaku tersebut”
Berikutnya, Gita, mahasiswa Sastra Jepang UNJ, memberikan opiniya terhadap belum optimalnya peran dan fungsi yang seharusnya diemban oleh Satgas PPKS