Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pakai Perasaan untuk Menentukan Hukum? Mana Bisa!

31 Juli 2016   10:24 Diperbarui: 31 Juli 2016   10:39 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan klasik sering kali bermunculan ketika saya membaca respon-respon orang umum terhadap keputusan hukum dalam memberi sanksi. Khususnya dalam kasus pidana mati seperti milik Freddy Budiman. Katanya, "Setiap orang punya HAK untuk hidup!", "Kita harus pakai hati nurani dan peraasaan kita! Jangan pakai akal!". Tapi, tidak semua dari mereka yang bersuara demikian itu bisa menggambarkan bagaimanakah konsep hukum dengan pertimbangan hati nurani dan perasaan itu, serta apakah Hak Asasi Seseorang benar-benar tak dapat dilanggar.

Bagi saya, mengatasnamakan Hak Asasi untuk menghentikan gerakan hukum seperti eksekusi mati merupakan tindakan yang tidak tepat. Bahkan bisa dikategorikan tindakan berdasarkan perasaan. Sebab, kalau sudah bicara tentang pelanggaran hukum, maka Hak Asasi sudah memiliki wiliyah yang dibatasi. Perasaan juga tidak harusnya dijadikan alat untuk menentukan apa yang harus diperbuat dan tidak diperbuat.

Mendudukan Hukum dan Sanksi

Marilah kita kembali kepada kasus guru cubit yang sempat heboh. Berbeda dari kebanyakan orang, kebetulan saya menyoroti kasus itu juga dari sisi nilai hukum dan sanksinya. Saya kutip darisana tentang kedudukan hukum dan sanksi:

"Kedudukan sanksi dalam kehidupan masyarakat atau sekumpulan manusia yang hendak mencapai tujuan tertentu adalah sebagai salah penguat motivasi atau bahkan motivasi untuk tidak melaksanakan suatu hal yang seharusnya tidak dilaksanakan atau untuk melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan (sederhananya, aturan). Misalnya, hukuman mati atau seumur hidup bagi pembunuh berencana, supaya manusia mau berpikir dua kali untuk melakukan itu. Atau dimarahi secara verbal (sanksi psikis) kepada anak yang tidak nurut orang tuanya.  Batas kinerja sanksi memang sekedar ada pada menegakkan aturan, bukan mendidik. Mendidik itu beda lagi. Tapi apakah bisa diartikan sebagai pendidikan? bisa jika dilihat dari kacamata yang sama sekali berbeda. Misalnya, jadi ilmu tentang hukum atau wawasan tentang hukum tertentu. Yang jelas, pada hakikatnya, sanksi dalam hukum bukan untuk mendidik."

Dari sini, singkatnya, sanksi adalah bagian dari penegakan hukum (aturan) yang memiliki fungsi untuk memberikan dorongan kepada manusia untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai hukum. Tanpa adanya sanksi, sebuah kalimat perintah bisa terabaikan.

Tentu. Negara punya cita-cita. Katakanlah, ingin mensejahterakan warga negara. Adanya hukum akan memberikan manusia aturan untuk berkontribusi dalam meraih cita-citanya meskipun dengan sekedar tidak melanggar atau sekedar melaksanakan. Namun setiap manusia tidak hanya sadar dengan akalnya. Manusia punya emosi yang menjadikan dirinya bisa berbuat apapun. 

Manusia tidak hanya terdiri dari akal. Ada yang namanya dorongan. Dorongan itulah yang mampu mengendalikan kemana arah perilaku manusia. Dalam psikologi, ini biasa dikenal juga sebagai emosi. Sedangkan kinerja akal, hanya terletak pada penentu mana yang benar dan yang salah, serta mana yang baik dan yang buruk. Sederhananya, akal hanyalah menghasilkan konsep yang tidak ada pada ruang dan waktu. Tidak berwujud. Emosi justru menghasilkan bentuk segala yang merupakan konsep tindakan ke dalam ruang dan waktu.

Jadi, ketika kita hendak memberikan hukum dan sanksi, gunakanlah akal kita untuk menentukan benar dan salahnya. Baik dan buruknya. Perlu di ingat, bahwa menggunakan akal bukan berarti tak berperasaan. Semua manusia tak pernah lepas dari perasaan. Hanya saja, perasaan berkedudukan untuk memberikan informasi. Bukan untuk menentukan kesimpulan. Jika begitu, maka hukum dan sanksi tidak lagi rasional. 

Sedikit Aufklarung

Sayangnya, tidak semua orang tau dan bahkan sepakat akan konsep rasional di atas. Banyak orang yang lebih memilih dasar hak asasi dan perasaan. Tapi sebenarnya, menggunakan hak asasi secara utuh sebagai dasar tindakan dalam hukum tidaklah tepat. Sebab, jika hukum berbicara aturan yang memaksa, maka itu sekaligus berbicara hak asasi yang dibatasi oleh hak bangsa untuk mencapai cita-citanya. Terpaksa, hak seseorang untuk berzina, berpesta pora, dan beradu jotos harus dibatasi oleh apa yang ingin dicapai bersama. Beda lagi kalau cita-cita negara adalah mewujudkan kerusakan dimana-mana.

Menggunakan hati nurani juga menurut saya akan semakin mengacaukan negara dalam usaha mencapai cita-citanya. Hati nurani sebenarnya hanya tumpukan emosi pada pengetahuan yang dipercayai. Terlepas dari apakah pengetahuan itu benar atau salah. Semakin orang dikondisikan bahwa berzina itu baik, maka hati nuraninya akan berkata itu baik. Sangatlah subyektif.

Ketika hukum di dasarkan kepada konsep yang tidak tepat dan penilaian yang subyektif, maka kiranya apakah yang terjadi? Arah negara akan tergantung kepada siapa yang mempengaruhinya. Bukan cuma para birokrat, rakyat juga bisa menenggelamkan negara ini kepada jalan ketidakseimbangan. Jalan yang salah dan subyektif. Ketidaktepatan yang subyektif. Sudah salah, ngawur juga.

Akhir Kata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun