Menjadi seorang yang fundamental dan fanatik itu tidak menjadi masalah, sebenarnya. Selama yang menjadi "fokus" fundamental dan fanatiknya adalah kebenaran. Artinya, jika ada gagasan yang lebih benar, maka bisa direvisi atau berubah pandangan. Jadi, silahkan kamu jadi seorang yang sangat agamis, selama kamu bersedia untuk terbuka dengan pemahaman lain. Ini bukan berarti ajaran agama yang dirubah-rubah. Ajaran agama, ya akan tetap sampai kapanpun akan sesuai dengan yang ada di teks keagamaannya. Justru usaha kita memahami teks keagamaan itulah yang perlu dibuka dan direvisi jika memang salah. (Pemahaman ini dikutip dari "Sumber II")Â
Masalah kita adalah "metode memahami teks ajaran agama" dan "hasil memahami teks ajaran agama".
Kesimpulan
(1) Film ini memberikan tiga pelajaran besar bagi saya sebagai pengejar cita-cita. Pertama, bahwa ilmu yang saya miliki itu untuk membawa perubahan dimasyarakat. Kedua, bahwa dalam meraih cita-cita, maka saya perlu membuat jalannya setepat mungkin sehingga konkret mengantarkan saya mencapai cita-cita. Bahkan saya perlu membedakan mana yang menjadi kebutuhan saya untuk berkarir dan yang bukan. Ketiga, bahwa dalam perjuangan menggapai cita-cita kita akan menemukan berbagai macam hambatan yang menjadi cobaan dan kita harus tetap konsisten agar bisa mencapai cita-cita. Cara agar konsisten adalah menekankan sekali motivasi dalam akal dan emosi.
(2) Perbedaan adalah perbedaan. Tidak pernah bisa disamakan. Namun perbedaan bukanlah sumber perpecahan. Sumber perpecahan adalah diri yang tidak menghiraukan kebenaran dan bebal. Jadi, jangan pernah menganggap semua agama adalah sama secara inti ajaran dan lainnya.
Begitu kiranya informasi-informasi yang dominan berada di kepala saya, setelah menonton film ini. Kalau kamu bagaimana? :)
(Rusyd Al-Falasifah)
Sumber Pemikiran:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H