Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

MOS Dilarang, Kabar Baik atau Bencana?

13 Juli 2016   07:04 Diperbarui: 14 Juli 2016   15:39 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uniknya bangsa ini. (via CNN Indonesia)

Pada Selasa malam (12/7), perhatian saya ditarik masuk ke dalam sebuah berita yang selama ini diharap-harapkan oleh banyak siswa baru. Yup, saya bisa membayangkan betapa berbunga-bunganya perasaan mereka ketika membaca berita itu: MOS DILARANG. Sebagai lulusan siswa tahun ini, saya memahami betul bagaimana dinamika pelajar yang "terpaksa masuk" ke dalam sebuah permainan bernama MOS ini.

Gambaran Umum

Di Indonesia, pelaksanaan MOS, atau lebih dikenal sebagai Masa Orientasi Siswa tidaklah berwujud sebagaimana makna MOS itu sendiri. Berbeda dengan istilah "berkendara" yang dilaksanakan sesuai dengan maknanya, dengan kata lain pelaksanaan MOS di Indonesia mengalami penyimpangan. Bahkan bisa dikatakan bahwa MOS yang ada sudah tidak ideal dalam mencapai tujuan hakiki dari MOS itu sendiri. 

Setidaknya, berdasarkan pengamatan saya --dan semua orang yang tau, termasuk juga Anies Baswedan-- bahwa pelaksanaan MOS begitu lekat dengan perilaku Bullying, dan kekerasan, baik secara fisik ataupun psikis --salah satu wujudnya adalah aksesoris aneh. Adik-adik yang baru saja masuk ke dalam atmosfer pendidikan teranyarnya justru disambut dengan guyonan khas Indonesia. Tahukah kamu maksud saya?

Uniknya bangsa ini. (via CNN Indonesia)
Uniknya bangsa ini. (via CNN Indonesia)
Guyonan kita terkenal sebagai bullying yang dikemas sedemikian rupa. Ibarat kotoran kucing yang dikemas dengan lembaran emas yang penuh kilauan, agar nampak elok. Kemudian, kotoran itu ditawarkan dan dinikmati bersama-sama. Hiiiii, kebayang gak konyolnya?

Khasnya, pertama-tama dicari dulu dari penampakan fisik atau ciri-ciri selainnya yang khas. Kemudian dibelokkan, agar nampak sebagai aib atau sisi negatif yang benar-benar hina, akan tetapi dengan sedikit senyuman bersama penyampaiannya. Mengapa? agar ada kesan bahwa itu tidak serius dan nampak membahagiakan. Tetapi terkadang juga tidak pakai senyuman. "Onta arab", "Tuyul Blo'on", "Upil Fir'aun" atau sebutan yang mencerminkan kekhasan seseorang lainnya. 

Terus-menerus di-bully sampai tiba pada suatu titik emosional seperti amarah atau tangisan. Pada saat itulah, ketika dirinya sudah merasa puas mem-bully, diberitahukannya bahwa semua ini adalah skenario. "Semua sudah diatur", kata senior yang tak kunjung berpikir dewasa itu. Inilah setidaknya gambaran simple dari MOS kita. Ya, MOS kita tidak jauh berbeda dengan Guyonan. MOS yang identik dengan kekerasan atas nama candaan khas Indonesia. Pembelaan yang dimaklumi oleh bangsa kita selama sekian "Abad".

Pendasaran dan Keputusan Pusat

Farid Ari Fandi dari satgas PA mengatakan pihaknya masih menerima laporan mengenai adanya kekerasan siswa pada MOS tahun ini. Menurutnya, masih ada keluhan dari orang tua siswa tentang bagaimana masa orientasi dilakukan di sekolah anak-anak mereka. Salah satunya datang dari orangtua siswa yang anaknya sempat menjalani MOS di salah satu SMAN di daerah Bekasi. Anak tersebut, kata Farid, mendapatkan pemukulan oleh seniornya di salah satu kamar mandi sekolah hingga memar.

Juga, sebenarnya keputusan pelarangan MOS diambil sebab Anis Baswedan sering kali menerima laporan-laporan kekerasan yang terjadi saat MOS. Ada yang fisik, dan ada juga yang psikis. Yang lebih fatal lagi, kematian bisa hinggap dalam kegiatan itu. Dengan demikian, menurut Anies Baswedan, kegiatan MOS harus ditiadakan. MOS harus dilarang. Ini sudah menjaadi keputusan resmi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. 

Kabar Baik atau Bencana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun