Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senang atau Cemas: Kemunculan Modern Free-Thinker di Indonesia

4 Juli 2016   08:43 Diperbarui: 13 Agustus 2016   06:55 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Numbers Academi via Line

Disuatu siang yang panas seperti biasanya, teman saya mengabarkan sesuatu. Hal itu membuat suasana menjadi tambah panas ketika, lagi-lagi, saya mengetahui gagasan-gagasan bebas itu bermunculan di LINE. Sangat pekat, dan radiks. Menyuarakan kemanusiaan dan kesalahan berpikir yang sedang terjadi. Ditengah banyaknya masyarakat yang masih labil dan tidak kritis! Apakah ini masalah? Bagi saya, ini masalah. Eh, masalah gak ya? hmmm

Radikal versi Perspektif via LINE
Radikal versi Perspektif via LINE
Hari ini kita diserang oleh beberapa kelompok "intelektual" yang, yah, ateis dan yah, radikal. Radikal bukan berarti sering menggonggong kepada orang-orang yang lewat kemudian menggigitnya. Memang ada dua kubu yang memaknai kata radikal. Tapi yang saya maksud radikal disini adalah kubu yang mengartikannya sebagai sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan. Apalagi kalau bukan konsep? ya, kelompok ini menyerang melalui konsep-konsep dasar gagasan yang ada. Dengan itu, mereka mencoba menjatuhkan berbagai macam persepsi kehidupan manusia yang diatasnamakan agama dan budaya di masyarakat, dengan pandangan "intelek" yang agaknya "ilmiah". Disinilah alasan saya memberi judul tulisan ini dengan istilah "free thinker" sebab mereka itulah yang ingin saya soroti.

Free thinker bukan bermakna sebagai orang-orang yang bebas berpikir. Beda, kalau maknanya begitu, maka semua manusia adalah free thinker. Menurut wikipedia, free thinker adalah para praktisi yang mengagaskan bahwa kebenaran harus dibentuk dari logika, alasan, dan empirisme. Bukan malah kekuasaan, agama, an budaya.

Free Thinker menurut Wikipedia
Free Thinker menurut Wikipedia
Kemunculan mereka yang secara radiks dan berada ditengah pusat media sosial yang di dominasi oleh remaja dan akun-akun part time yang nyari uang bisa berbahaya, apalagi remaja kita tidak begitu kritis. Yah, yang dibentuk dari bangsa kita tidak muluk-muluk amat; tidak banyak Stephen Hawking atau Nabi Muhammad di masyarakat kita. Yang penting, menurut kebanyakan tetua para remaja, nyari uang dan hidup enak. Masa bodoh dengan kepribadian intelektual kalau uang tidak memenuhi kantong ajaib doraemon. Cara berpikir yang demikian inilah yang bisa memperosokkan bangsa kita ke dalam jurang ikut-ikutan dan berpikir dangkal.

Nah, free thinker ini adalah salah satu dari sekian kecil Stephen Hawking versi Indonesia. Berarti (dalam pandangan saya), mereka itu sosok yang lebih baik daripada generasi baru umumnya, sebab kecerdasan dan keilmuan yang mereka miliki. Gak tau lagi kalau masalah moralnya. Tapi namanya juga manusia, usahanya untuk mendapatkan pengetahuan masih tetap terbatas pada luasnya wawasan dan aspek-aspek yang mendukung usaha penalarannya. 

Saya merasa cemas dengan eksistensi mereka, sekaligus senang, sebab ini menunjukan kebangkitan intelektual di Indonesia. Sedangkan kecemasan yang ada pada perasaan saya didasari oleh pemikiran mereka, yang menurut saya masih kurang tepat. Meskipun nampaknya tepat. Pemikiran yang demikian ini bisa saja diterima dengan mudah oleh remaja kita, dan lambat laun gagasannya akan menginternalisasi pembaca. Mereka yang terinternalisasi akan menjadi ateis, atau setidak-tidaknya, orang yang sekuler.

Saya pikir gagasan mereka masih kurang tepat, karena kurang ilmiah. Tapi, hey, apa itu ilmiah?

Sederhananya, ilmiah berarti "secara keilmuan". Berarti, kekhasan yang digunakan untuk membahas sesuatunya adalah dengan pengetahuan-pengtahuan yang sistematis dan logis (ilmu). Jika pada gagasannya itu tidak menurut kepada runtutan dan valid secara kaidah berpikir tepat (logika = kaidah berpikir tepat), dan dengan pengetahuan yang tepat sebagai bahannya, maka dia tidaklah ilmiah. Masing-masing permasalahan memiliki runtutan logikanya masing-masing. Misalnya, runtutan logika matematika yang deduktif tidak sama dengan runtutan logika santifik yang deduktif-induktif. 

Sekarang saya coba bahas salah satu gagasan yang ada pada mereka, yang menurut saya masih kurang ilmiah. Misalnya, masalah Science vs Religion: "apakah agama sejalan dengan sains?"

Menurut saya, runtutan logika dan pengetahuan yang dibutuhkan itu berdasarkan atas beberapa pertanyaan:
Apa itu agama? Apa itu Sains? Kemudian, apa yang dimaksud dengan sejalan itu? Kapankah agama sejalan dengan sains dan kapankah dikatakan tidak sejalan? Apanya yang sejalan?

Agama itu banyak wujudnya. Tapi saya lebih setuju bahwa konsep agama secara umum itu adanya (1) Tuhan yang dijadikan sebagai otoritas tertinggi dalam hidup, (2) Ada ajaran yang harus diikuti, dan (3) Ada pembawa ajaran. 

Sedangkan sains, adalah studi tentang segala sesuatu yang bersifat observable (materi) berdasarkan metode empiris-falsifikasi. Metode itu bisa meliputi indirect method dan direct method. Pada prinsipnya, melalui kedua metode itu, hipotesis harus dikerucutkan dan terus dikerucutkan melalui sampai tersisa satu yang akan diuji, yang sangat kuat. Nah, jika telah lulus uji maka berbahagialah! Sains menemukan jawaban atas suatu fenomena. Sederhana? tidak, gambarannya saja yang saya sederhanakan.

Kemudian, apa yang dimaksud dengan sejalan dengan sains? Nah disini, sejalan saya maknai sebagai berada pada satu alur yang sama. Maknanya sama seperti ketika saya tau kawan seperjuangan yang ngajak jalan bareng: "Wah kebetulan aku juga mau lewat sana. Ayo barengan!". Berarti satu alur yang menjadikan keduanya berjalan bersama. Tapi, apakah alurnya itu? atau jelasnya, apa stadart dari sejalan itu? Disini ketidakjelasannya. Kalau standart sejalannya adalah ciri khas secara keseluruhan, maka jelas sekali tidak akan sejalan. Tapi beda lagi kalau standart sejalannya adalah hasilnya, yaitu pengetahuan yang pasti benarnya (certain knowledge). Pembahasan saya kali ini menggunakan standart yang kedua itu.

Lalu, apanya yang sejalan? Ini juga yang masih belum dijelaskan secara tepat. Katakanlah, sains dengan pengetahuan ilmiahnya dan agama dengan isi kitabnya. Masalahnya, apa yang dimuat dalam kitab belum banyak dijelaskan dan diluruskan oleh orang-orang. Dianggapnya, isi kitab = isi pengetahuan ilmiah seperti yang ada didalam fisika. Padahal, isi kitab itu seperti catatan-catatan fenomena dan respon historis berdasarkan dari satu sumber dan kemudian ditulis. Jadi, mananya yang mau dibandingkan? data historis dengan pengetahuan ilmiah? saya kira, asumsi ini masih sering dilupakan.

Oke, kita kembali lagi.

Science vs Religion via Numbers
Science vs Religion via Numbers
Menurutnya, tidak ada satupun teks kitab suci dalam agama yang sejalan dengan sains. Terlebih lagi, adalah berbahaya jika teks agama dihbungkan dengan sains sebab gagasan agama bersifat mutlak benar, sedangkan gagasan sains masih bisa dievaluasi. 

Bukankah, andaikata kitab yang mutlak benar itu mengatakan, bahwa manusia itu bernapas, maka pernyataan itu tetap benar sekalipun jika sains belum tau? selama benar, kenapa harus dikatakan salah? Sayangnya, kitab lebih cocok untuk dimaknai sebagai data historis yang memberi petunjuk dan pelajaran tertentu. Bukan buku keilmuwan masa lalu yang lebih canggih daripada kitab To Organon-nya Aristoteles. Jadi, setiap maksud dari suatu ayat dalam kitab keagamaan tidak bisa dipahami begitu saja, sebab catatan itu merupakan data historis. Pastilah terikat oleh berbagai variabel untuk memahaminya.

Mungkin sebagian dari kamu mengira bahwa isi kitab juga berisi pengetahuan. Misalnya tentang pembentukan manusia. Yang perlu diingat, itu semua (yang kalian anggap pengetahuan) adalah catatan-catatan fenomena dan respon historis berdasarkan dari satu sumber dan kemudian ditulis. Artinya, setiap perkataan yang ada terikat oleh asumsi budaya dan masyarakatnya (sederhananya, aspek sosiologisnya). Jadi, tidak bisa asal-asalan diambil, kemudian dibanding-bandingkan dengan kenyataan tanpa tau maksud sebenarnya.

Sekarang, katakanlah yang merupakan obyek telaah kita adalah pengetahuan ilmiah dalam sains dan maksud sebenarnya dari ayat tertentu. Maka, untuk tau sejalan atau tidak kita perlu tau maksud yang sesungguhnya dari suatu ayat. Dan lagi, menurut saya, tidak ada hubungannya antara sifat mutlak agama dengan sifat evaluasi sains dalam menentukan sejalan atau tidaknya dalam penentuan efek rugi atau untungnya. Sebab, yang berkaitan dengan rugi atau untung adalah benar atau salahnya pengetahuan yang sesungguhnya dari suatu ayat.

Yang berhubungan dengan sejalan atau tidak adalah cara penafsiran ayat, sebab dialah yang mengantarkan manusia kepada maksud dari/pengetahuan tentang ayat tertentu. Usaha kita sebagai manusia untuk benar-benar memahami isi ajaran agamanya itulah yang masih menjadi soal hingga kini. Ini sangat kompleks. Dengan mengetahui maksud sejatinya, maka kita bisa menjawab rumusan masalah tadi.

Faktanya, metodologi penafsiran kitab suci masih kacau dimasyarakat. Bervariasi. Mulai dari yang tradisi, hingga yang liberal, semuanya ada. Mulai dari yang kental dengan kekerasan dan perang, sampai yang kental dengan kebebasan, semua punya metodenya masing-masing. Belum ada metode yang diakui benar secara ilmiah dan umum dalam menafsirkan ayat. Jadi, menurut saya, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa agama tidak sejalan dengan dasar metode penafsiran yang tidak jelas yang benar yang bagaimana; asal ngambil sample. Sedangkan, metode penafsiran yang benar masih kabur. Jelas ini akan menghasilkan kesimpulan yang salah, 

Dengan demikian, gagasannya tidak bisa diterima. Kenapa? Singkatnya, karena kurang ilmiah. Rinciannya, karena yang pertama, cara menjawab masih kurang jelas (bagi saya) dan yang kedua, ada data yang belum jelas kebenarannya, yaitu metode memahami suatu ayat atau ajaran. Saya tekankan lagi, bahwa metode ini memiliki implikasi yang penting, sebab dengan metode maka manusia bisa memahami makna sejati/sebenarnya dari suatu ayat suci. Tanpa metode yang tepat, maka kita tidak bisa mengatakan sejalan atau tidak sejalan. Jadi, rumusan masalah tadi sebenarnya tidak terjawab secara ilmiah, baik oleh Numbers ataupun saya (melalui tulisan ini). 

Jadi orang yang ilmiah itu susah; repot juga dan gak cepat. Kebenaran tidak di dapatkan dengan cara yang mudah. Dalam metodologi penafsiran saja, pertimbangannya sangat banyak, sebab ini teks yang telah lalu, yang terikat oleh hal-hal tertentu yang tidak bisa dipahami dengan secara teks saja dan dengan asumsi-asumsi terkait kondisi sosial-budaya-politik masa itu. Serta asumsi-asumsi lainnya, tentu saja. Saya yakin, ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Kalau kamu yang ateis mau tau kebenaran, maka bersabarlah dalam mencarinya. Kalau kamu sudah menemukan metode yang cocok untuk melakukan penafsiran, barulah kamu komentar sejalan atau tidak sejalan. "Kalau asal, jangan usul" begitu kata presenter dalam salah satu acara favorit saya.

Saya senang ketika melihat orang Indonesia itu mencoba berpikir kritis. Tapi agaknya menyakitkan hati dan cemas ketika hasil berpikirnya salah dan disebarkan. Itu seperti menyebarkan racun yang mematikan.

Kalau kamu, senang atau cemas?
Yang penting, stay rational ya... berhati-hati juga dengan pemikiran semacam ini di Line...


~Rusyd Al-Falasifah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun