Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perihal Pulang yang Terlambat

22 November 2024   13:42 Diperbarui: 22 November 2024   13:55 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku pulang. Terhitung sudah sembilan bulan lewat sepuluh hari aku tidak menginjakkan kaki ke tanah kelahiran. Aku pulang, memenuhi panggilan ibu yang konon rindu sekali pada anak pertamanya ini. Ah, aku juga rindu ibu.

Rindu pada masakannya yang selalu cocok di lidahku. Rindu duduk berdua saja dengannya di teras rumah, membicarakan hari panjang yang berhasil dilalui. Rindu dengan bau tubuhnya yang selalu membuat candu. 

Aku pulang hari ini dengan menggunakan kereta api. Entah kenapa, rasanya aku selalu suka berdesakan dengan orang-orang di gerbong kereta. Biasanya, sambil mengamati riuh sesak gerbong kereta, aku suka iseng mengingat seseorang yang kutemukan di antara penumpang kereta yang berdesakan. 

Setidaknya ada tiga hal yang paling kusuka di dunia ini: ibu, kereta, dan dia. 

Dan kabar bahagianya, satu per satu hal yang kusuka akan lekas kutemui hari ini. 

"Tidak sabar sekali bertemu dengan kalian," gumamku bahagia. 

Perjalanan pulangku menghabiskan waktu satu jam tiga puluh menit. Kini, di hadapanku, gapura desa tempatku lahir dan besar sudah terpampang nyata. Aku berjalan masuk, menyisiri tiap jengkal desa yang kini banyak berubahnya. Ah, seketika aku merindukan desaku sepuluh tahun yang lalu. 

Aku terus berjalan hingga pagar rumah ibu terlihat. Gegas kuajak kaki ini berlari. Aku meneriakkan nama ibu. Lalu, daun pintu dibuka dari dalam, menampilkan sosok perempuan berambut putih yang terlihat cantik sekali. Umur boleh mengambil kekuatan otot sendi ibu, tapi ia tak bisa melahap kecantikan ibu yang tiada tara. 

Aku tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk ibu. Berbulan-bulan jauh darinya sukses membuatku dikeroyok rindu. Dan, sekarang gunungan rindu itu luruh. Lega hatiku melihatnya sehat dan tetap bugar. Tapi aku juga merasakan kengiluan ketika menyadari ibu hanya seorang diri di rumah besar ini. 

Ayah sudah barang pasti memilih tinggal di rumah istri mudanya. Sementara adik-adikku, mereka menimba ilmu di tanah orang. 

"Beruntung kau masih ingat jalan pulang, Kak," tutur ibu. Aduh, suaranya merdu sekali.

"Bagaimana bisa aku lupa, kalau dari sini cinta bermula."

Ibu menarikku ke dapur. Ia hanya masak seadanya, tidak sempat memasakan makanan favoritku. Aku bilang tak apa, toh aku sengaja tidak memberi tahu ibu tentang kepulangan ini. "Biar jadi kejutan," seruku. 

Kami makan berdua saja, sambil diselingi ceritaku hidup di tanah orang yang kemudian ditimpali cerita ibu di tanah kelahiran. Ini seru, juga hangat. Rasanya aku ingin kembali tinggal di sini untuk selamanya dan berhenti merantau. 

Selepas makan, aku memberi ibu beberapa oleh-oleh. Ibu menerimanya dengan senyum yang lebar. Lalu, dia menyuruhku untuk beristirahat dulu. Aku memang ingin istirahat, badanku pegal-pegal semua.

Hari pertama di rumah, kuisi dengan tiduran, menonton televisi bersama ibu, dan merapikan oleh-oleh untuk teman-teman. Rencananya besok aku ingin bertemu dengan teman-temanku di sini, sekaligus bertemu dia. 

"Dia apa kabar ya?"

Pagi datang dengan tenang, tidak tergesa-gesa seperti di kota. Aku melakukan rutinitas pagi seperti biasanya. Lalu, setelah sarapan bareng ibu, aku mulai menyambangi rumah teman.

Yang pertama kali kudatangi adalah rumah Doni. Dia sempat kaget melihatku berdiri di depan rumahnya. "Astaga, kukira kau sudah dimakan tanah," kelakarnya. Kami berpelukan. Bertukar kabar dan mengobrol seperti dulu. 

"Kamu tahu kabar dia, Don?"

Doni jelas tahu dia yang kumaksud. Tapi, raut mukanya ada yang ganjil. Biasanya dia selalu tersenyum mengejek mana kala aku menanyakan kabar dia. Di antara semua teman, hanya dia yang tahu terkait perasaanku.

"Hei, ada apa?" Tapi Doni asyik diam. 

Aku semakin merasakan hawa keanehan itu. Astaga jangan bilang ini pertanda buruk. 

"Sebaiknya kau datangi saja sendiri. Tapi bukan di alamat biasa, coba kau sambangi dia di Jalan Ki Hajar no 12," katanya setelah sekian lama diam. Suara Doni murung. 

Tapi tunggu, Jalan Ki Hajar no 12? Bukankah itu menuju ke Rumah Sakit. Apa dia sakit? Sakit apa? 

"Menurutmu Rumah Sakit?" Kuharap Doni tidak mengangguk, tapi ia justru melakukannya. 

Dengan didorong rasa takut dan penasaran yang tinggi, aku tancap gas pergi ke sana. Aku mengebut dan tidak butuh waktu yang lama untuk segera sampai. Segera saja kutanya pada resepsionis letak kamar dia. Sementara resepsionis mencari namanya di daftar pasien Rumah Sakit, aku berdoa semoga namanya tak ada dan Doni hanya bercanda. 

Tapi resepsionis menemukan namanya. Di bangsal Mawar. Astaga, rupanya ada kulewatkan selama ini. 

Tanpa mengucapkan terima kasih aku langsung gegas menuju ruangan. Sesampainya di sana, kulihat dari kaca pintu, seorang perempuan terbaring lemah.

Melihat orang yang kusayang ada di posisi seperti itu, mataku memanas. Aku tidak mungkin kuat melihatnya. Tapi aku perlu memastikan dari dekat. Maka dari itu, kudorong pintu dan berjalan menuju tempat ia berbaring. 

Astaga, Tuhan, muka makhlukmu yang satu ini pucat sekali. Tidak ada warna merah di bibir dan pipinya yang kerap kali merona. 

Dia nampak kurus. Entah apa yang telah terjadi padanya. "Hei, kau kenapa?"

Dan tak ada jawaban dari mulut mungilnya. 

"Dia baru selesai mendonorkan salah satu ginjalnya pada ibu tirinya," seseorang menjawab kebingunganku.

Seseorang itu berdiri di belakangku. 

"Kapan?"

Seseorang itu tidak lekas menjawab. Dia berjalan ke sisi ranjang yang lain. Menatap wajah perempuan yang nampak damai dalam tidurnya. "Kemarin." Tepat ketika aku pulang! 

"Kenapa dia melakukannya?"

Seseorang itu melirikku, lalu menjawab, "karena ia mau."

Aku tak habis pikir dengan perempuan ini. Apa ia tidak mau berumur panjang? Apa dirinya tidak memikirkan resiko hidup dengan satu ginjal? Berengsek! 

Sudah berani memainkan perasaannya, kini perempuan itu mencoba memainkan kehidupannya sendiri. Dasar tidak tahu diri! 

Aku akui, aku mencintainya sekaligus membencinya. Dia terlalu naif. Berkorban untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri ia enggan dan cenderung memilih menyerah.

"Apakah ini salah satu jalan alternatif dia supaya cepat mati?" tanyaku dalam hati. 

Aku tidak kuat lagi berdiri di tempat itu. Kuputuskan untuk undur diri. Tapi, seseorang itu mencegahku. Dia memberikanku satu buku bersampul kaktus. Katanya untukku. 

Aku tak mengerti, tapi tetap kubawa. 

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tidak mampir lagi ke tempatnya. Dia saja sudah tidak peduli pada dirinya sendiri, lalu bagaimana dengan aku? Apakah kalau kuberitahu dia mau mendengarnya? Belum tentu, dia keras kepala sekali! 

Sudah dia minggu berjalan, dan aku tetap bertahan tidak mengunjunginya meski rindu juga.

Lalu esoknya, kudapati sebuah kabar yang kemudian sangat kusesali. Aku menyesal menuruti egoku. 

Fakta bahwa dia meninggal dunia, sangat memukulku.

Tak ingin menyesal untuk kedua kalinya, aku gegas mendatangi rumahnya. Tidak banyak orang yang melayat ke rumah dia. Jumlah pelayat masih bisa kuhitung dengan jari. Dia orang baik, tapi kenapa di hari kematiannya, orang-orang masih saja enggan mendekatinya? Entahlah. 

Aku masuk dan di ruang tengah rumah mewah itu, kudapati seorang perempuan cantik yang terbujur kaku. Air mataku luruh lagi. 

Dia sungguhan pergi. Bahkan sebelum aku mengakui perasaan ini padanya. 

Sepanjang prosesi pemakaman, aku tidak menemukan kehadiran orang tua dan anggota keluarganya yang lain. Hanya ada pembantu rumah dia saja. Ini aneh bukan? 

Seseorang yang kemarin kutemui di Rumah Sakit mendekatiku. Dia bertanya apakah aku sudah membaca buku yang ia berikan kemarin? Kujawab belum. 

Kulihat ia sedikit kecewa padaku. Lalu, katanya, "kalau kau ingin kebingungamu terjawab, bacalah buku itu." Seseorang yang mengaku sebagai teman dekat dia, pergi begitu saja. 

Ketika jubah malam turun, dan segala upacara kematian dia selesai diurus, aku pulang dan mencari buku itu. Kubuka halamannya. 

Untuk laki-laki yang kusuka, Arash. 

Jadi, dia juga menyukaiku? Astaga. Sayang, cinta kami sepertinya tidak bisa bersatu. Dia sudah beda alam.

Kubuka lagi halaman berikutnya. 

Aku melihat malaikat maut berjalan mendekatiku. 

Seriusan dia menulis itu? Apakah dia bisa melihat rupa malaikat maut? 

Kubuka lagi halaman berikutnya. 

Ibu tiriku meminta aku menjadi pendonor ginjal untuknya. Aku menolak. Kubilang, aku ingin berumur panjang. Ada laki-laki yang sedang kutunggu kepulangannya, dan aku ingin menikah dengannya. 

Dia ingin menikah denganku? Dengan seorang Arash? 

Aku buka lagi halaman berikutnya

Ya, aku ingin menikah dengan Arash. Tapi, ayah menolak. Dia ingin aku menolong ibu tiriku. Menjadi pendonor ginjal. Ayah bilang, seharusnya aku mati saja, menyusul ibu ke sana. Kupikir itu bagus. Aku juga ingin mati daripada di sini hidup konyol bersama keluarga yang tidak menginginkan keberadaanku. Tapi, aku masih punya Arash. Kenapa sih dia tidak segera pulang saja? 

Oh, astaga dia menunggu kepulanganku. Seketika aku menyesal tidak segera pulang. 

Aku buka lagi halaman berikutnya

Arash, malaikat maut semakin mendekat saja. Ibu tiriku terus memaksa aku. Jadi kujawab iya. Aku mau jadi pendonor ginjalnya. 

Arash, nanti kalau malaikat maut sudah di sisiku, kamu jangan bersedih hati. Ia hanya mengambil nyawaku.

Di hari kematianku nanti, kuizinkan kamu menangis sepuasnya. Tapi kau harus janji, setelah tubuhku dipeluk tanah, kau harus bisa tersenyum lebar.

Aku menangis lagi. Lebih kencang dari sebelumnya. Perempuan yang kukira tak menyukaiku rupanya ia membalas perasaanku. Ya Tuhan. Terlambat sudah. 

"Aku mencintaimu, kudoakan kau bahagia di sana."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun