Sabtu lalu, dia menyodorkan saya selembar koran lokal. Bukan hanya saya, ada beberapa temannya yang juga diberi selembaran koran. Lalu, kami diminta membaca dalam diam sambil duduk membentuk setengah lingkaran. Kira-kira sampai lima belas menit lamanya. Di depan saya tidak ada kopi atau jus atau teh, pun makanan. Nihil.Â
Hanya ada dia yang fokus dengan lipatan koran di tangan. Sesekali dia tertawa kecil, mungkin ada yang lucu tapi sungguh berita yang dimuat di koran itu tak ada yang lucu!
Hal itu kontras dengan saya, yang sesekali menggerutu karena seharusnya ada satu dua hidangan ketika sedang membaca koran, seperti yang biasa dilakukan bapak tiap akhir pekan: membaca koran sambil ngopi. Namun, gerutuan itu tidak bertahan lama setelah mata saya dengan tidak sengaja menangkap judul berita yang menarik.Â
Di atas rentetan anak kata pada surat kabar itu, ada satu foto yang di dalamnya memuat gambar seorang laki-laki sedang berbicara di depan orang banyak, mungkin ia sedang berpidato. Lalu, di samping laki-laki tersebut, beberapa karangan bunga berjejer rapi.
"Lima belas menit kita sudah habis. Waktunya bercerita tentang berita yang kalian baca," kata dia memindai wajah kami satu per satu. Pembawaannya santai, tapi cukup mengintimidasi kami untuk tidak menjadi yang pertama. Lima menit berlalu, di antara kami tak ada yang mengajukan diri.
Saya mendengar dia mendesah. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari dalam tas. Memindahkannya ke depan, ke tengah-tengah formasi. Sebungkus donat. "Barang siapa yang berani menceritakan berita dalam koran yang kalian baca, kalian boleh ambil donat ini."
Menarik. "Satu orang cukup ambil satu," tambahnya diiringi dengan cengengesan yang membuatnya jadi menyebalkan.
Dengan diiming-imingi donat, Rese merelakan diri menjadi yang pertama. Ia bercerita soal keluhan warga kabupaten yang mengeluhkan kabel semrawut di pinggir jalan. Kabel-kabel tersebut sudah pernah memakan korban dan belum ada tindak lanjut dari pihak PLN ataupun pihak lainnya.
"Itu kasus klasik. Ini bukan pertama kalinya kabel semrawut. Jangankan di kabupaten, di kota saja banyak. Tidak terhitung malah, dan kalian lihat, apa ada tindakan yang diambil oleh orang-orang di atas sana? Jelas tidak kan," Aden menanggapi dengan jiwa yang berpai-api.Â
Di antara kami semua, hanya dia yang gampang terbakar emosinya. Namun, apa yang dikata Aden tidak salah. Sebagai salah seorang yang menyukai langit, saya kadang kesal ketika hendak memotret langit cerah malah terhalang lilitan kabel yang semrawut.Â
Ini mungkin dampak negatif dari pertumbuhan penggunaan listrik yang makin meningkat, kata dia. Itu juga betul, tapi bukan berarti kabel semrawut itu harus dimaklumi apalagi jika sudah memakan korban jiwa, mesti ada tindakan.
Sesuai kesepakatan, orang yang sudah bercerita boleh mengambil donat. Tapi Rese melakukan pelanggaran, dia mengambil dua doant sekaligus. Untuk yang kepertamaan, alibinya. Dan yang paling rese adalah ketika dia menunjuk saya jadi pencerita yang kedua.
Menyebalkan sekali. Mau tak mau saya harus melakukannya karena tidak ada alasan yang bisa diterima.
Saya bercerita tentang kematian yang termuat di surat kabar. Bukan kematian seseorang dari kalangan biasa, dia pemilik saham terbesar di kota kami. Ini mengejutkan mereka yang mendengarkan saya berbicara. Mereka jelas tahu siapa ini dan beranggapan bahwa ini adalah berita penting. Tapi menurut saya ini tidak penting.Â
"Hanya berita kematian yang kebetulan dimuat dalam surat kabar."
Tapi Rese dan Tara sepakat kalau ini penting, "berita ini jelas penting. Kita bisa tahu siapa nanti yang akan melanjutkanya."
Akan menjadi penting apabila yang membaca adalah seseorang yang mempunyai saham atau memiliki kepentingan dalam perusahaan tersebut. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memiliki kepentingan sama sekali, berita ini sama saja dengan berita yang lain. Atau bisa jadi tidak penting sama sekali.
"Ini jelas menarik. Sangat menarik," imbuh Aden sambil mencomot donat. Saya memandangnya dengan tatapan tidak mengerti tapi tidak menampik kalau saya setuju dengannya. Ini menarik.Â
Aden tidak segera memberikan tanggapan lainnya, dia justru mengambilkan saya sepotong donat dengan taburan gula bubuk. Lalu katanya,
"Hei, dengar ini kawan. Kemarin saya habis mendapat kabar dari orang rumah bahwa tetangga saya meninggal. Sudah berjalan empat hari, dan kabar kematiannya tidak dimuat surat kabar. Hanya disebarkan melalui toa masjid dan tidak banyak orang memperhatikan kematiannya. Hanya sanak saudara yang peduli dengan kabar tersebut.
 Ini jelas menarik. Antara kematian orang kelas atas dengan orang kelas bawah, mayoritas orang cenderung peduli pada mereka yang berasal dari kalangan atas. Tidak peduli kejahatan apa yang pernah diperbuatnya, hanya kebaikannya yang akan diingat terus."
Aden menutupnya dengan tangan kanan yang lagi-lagi mencomot donat. "Hei, sudahi aksimu kawan! itu donat untuk kami semua," seru Tara yang mulai kesal karena ia belum merasakan donat itu. Sementara Aden dengan santainya memakan donat itu dalam satu suapan. Aksinya sangat memancing keributan.
Tak ada lagi yang bercerita setelah saya, semua sibuk merebut donat yang sekarang dipeluk erat Aden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H