Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tiba-tiba Saya Ditunjuk jadi Pemantik

13 Mei 2024   23:20 Diperbarui: 13 Mei 2024   23:20 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tiba di gedung baru sekitar pukul 10 lewat tiga puluh menit atau kurang. Saya lupa. Yang saya ingat, saya berhasil datang lebih dulu dari teman yang lain dengan cara nekat naik gerbang lama kampus. Untung tidak mampus. Mengingat biasanya bisa naik tapi tidak bisa turun, yang berakibat salah urat.

Bagian itu seharusnya tidak saya ceritakan panjang kali lebar ditambah luas dan dibagi volume. Jadi, langsung saja ke bagian inti. Kita beralih menjadi warga Swedia atau mungkin Jerman yang terkenal berbicara to the point. Minusnya kita jadi orang yang enggak lucu.

Pada kajian siang itu, saya membawakan cerpen yang didapat dari buku kumpulan cerpen Wabah. Terbitan tahun 2021. Buku ini saya dapati dari kebaikan hati seorang kakak tingkat, yang tidak ada angin tidak ada hujan tapi ada panas, memberi saya buku kumcer ini. Untuk bahan kajian, saya ambil cerpen yang judulnya Bulan Merah Rabu Wekasan. (Menarik, Rabu Wekasan dikaji hari Kamis. Plot twist jadinya).

Saya minta peserta yang hadir untuk membaca hening selama sepuluh menit. Setelah itu saya mintai pendapat mereka. Beberapa malah terkesan seperti ditagih hutang pendapat oleh saya. Mayoritas dari peserta---anggota Bengkel Menulis dan Sastra lainnya, merasa sulit memahami cerpen ini jika hanya sekali dibaca. Kata-kata yang digunakan pada paragraf awal, sangat membingungkan. Mereka mesti bolak-balik KBBI dan baru bisa memahami maksud dari kata tersebut.

Cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan karya Royyan Julian ini memang banyak menggunakan kata-kata arkais di awal paragraf. Hal ini menyebabkan pembaca yang tidak terbiasa dengan jenis pembukaan seperti ini, merasa bosan dan enggan melanjutkan membaca. Tidak salah apabila seorang penulis ingin memakai kata-kata arkais di dalam cerita mereka. Sah-sah saja. Toh, setahu saya ada beberapa tipe pembaca yang menyenangi jenis cerpen seperti ini. Penulis angkatan balai pustaka (kalau tidak salah) pun kerap kali membuat tulisan seperti yang terjadi pada cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan ini.

Omong-omong, pembaca yang budiman, cerpen Bulan Merah Rabu Wekasan ini menceritakan tentang desa Sumber Bulan yang terpencil ketika diserang wabah penyakit yang melanda negeri. Penyakit itu ditandai dengan ruam merah di sekujur tubuh dan rasa panas. Singkat cerita, kepala desa Sumber Bulan melakukan pertemuan rahasia dengan Kiayi Jalil, Dokter Simon, Ramiso, dan dua orang kuli yang merupakan teman kerja Ramiso di toko Haji Ansori. Dalam pertemuan itu, Mirna, Kepala Desa Sumber Bulan meminta Ramiso dan dua orang kuli lainnya untuk menjadi pasien bodong.

Oleh Mirna, Kiayi Jalil, dan Dokter Simon, Ramiso dan dua temannya yang sesama kuli diiming-imingi upah satu juta hanya untuk mendekam di bilik puskesmas dan pura-pura terinfeksi penyakit ruam. Segala kebutuhan keluarga mereka ditanggung oleh Mirna.

Manusia mana yang tidak ngiler ditawari kerja rebahan, makan terjamin, dan kebutuhan keluarga dijamin? Saya yakin,kalau tawaran ini menuju pada Anda, siapapun tidak bisa menolak.

Rencana tipu daya ini bertujuan agar desa Sumber Bulan bisa mendapat bantuan dana dari pemerintah. Barangkali bantuan dana tersebut bisa membantu warga memperbaiki jalan utama Sumber Bulan yang rusak.

Akan tetapi, yang namanya manusia biasa tidak pernah luput dari pengkhianatan. Mirna, Kiayi Jalil, dan Dokter Simon tidak melakukan apa yang mereka katakan pada Ramiso. Mereka bertiga menggunakan uang bantuan tersebut untuk kesenangan pribadi. Ramiso sendiri baru mengetahui hal ini setelah dirinya menyaksikan tayangan berita tentang dana yang seharusnya diterima oleh pasien wabah.

Semestinya ia menerima dua puluh lima juta, bukan satu juta rupiah. Didorong amarah, Ramiso kabur dari bilik puskesmas, mengambil pisau dapur dan mencari tiga orang yang sudah mengambil dua puluh empat jutanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun