Darno Kartawi menjelaskan beberapa hal tentang Tari Ronggeng yang kemudian ditulis oleh Tiara Pudyadhita. Di sela-sela pertunjukan, penonton yang ketiban sampur dari penari Ronggeng harus ikut menari dan boleh mengajak penari tersebut untuk tidur bersama. Apalagi gerakan dalam Tari Ronggeng cukup sensual dan mampu menarik perhatian lelaki.
Seorang perempuan akan berhenti menjadi penari Ronggeng jika ia hamil. Oleh karena itu, Nyai Kartareja memberi sebuah solusi pada Srintil agar ia dapat menjadi penari Ronggeng lebih lama. Sambil mengoleskan lulur, Nyai Kartareja juga mengurut bagian perut Srintil yang membuatnya mengaduh kesakitan.
"Mematikan peranakan juga bagian dari laku serat Ronggeng,"jelas Nyai Kartareja.
Sontak Srintil pun mendorong Nyai Kartareja. Ia menangis, menunjukkan bahwa Srintil pun mengalami ketakutan dalam hal menggugurkan kandungan, jika memang Srintil terbukti hamil. Bahkan, ketika Srintil memutuskan untuk berhenti menari Ronggeng, ia justru mendapat ancaman dari keluarga Kartareja yang mana adalah dukun Ronggeng di Dukuh Paruk.
Pergerakan Kaum Laki-Laki, Penindasan Kaum Perempuan
"Sang Penari" juga menceritakan tentang kondisi politik pada tahun 1965. Masifnya pergerakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menguasai Dukuh Paruk. Tentara Indonesia sendiri menandai tempat yang sudah dikuasai oleh PKI dengan sebutan "merah".
Rasus yang pada saat itu sudah menjadi tentara, diberi kesempatan untuk pulang ke Dukuh Paruk. Â Ia melihat didirikannya gapura dari bambu yang bertuliskan "tanah oentoek rakjat". Tentu hal tersebut menimbulkan perasaan curiga dalam dirinya, mengingat bahwa warga Dukuh Paruk tidak ada yang bisa membaca dan menulis.
Lama kelamaan, pergerakan di Dukuh Paruk semakin menjadi-jadi. Basis komunisme di daerah tersebut semakin menguat. Ditambah lagi dengan memanfaatkan warganya yang tidak mampu baca dan tulis, serta isu kemiskinan yang terus dimainkan. Iming-iming tradisi Ronggeng yang akan dikembangkan lagi di luar Dukuh Paruk juga menjadi salah satunya.
Pada akhirnya, pergerakan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Mulai dari orasi membakar semangat warga untuk melawan penindasan negara, pendataan warga, dan lain sebagainya. Perempuan hanya ikut meramaikan saja dengan cara menjadi penari Ronggeng. Ketika laki-laki diajarkan membaca, perempuan justru diabaikan.