Mengapa harus menerbitkan banyak buku kumpulan puisi? Pertanyaan itu muncul dari beberapa teman penyuka puisi.
Bukan untuk mendapat pengakuan bahwa saya adalah seorang penyair. Tetapi karena keseringan menulis di Kompasiana merasa bahwa puisi setelah ditulis dan dimuat bikin puas. Apalagi dijadikan buku membikin bahagia.
Dibalik puisi pasti ada cerita. Puisi yang pernah ditulis dalam sebuah buku ksuatu waktu mengingatkan kembali kisah lama. Buku-buku puisi yang ditulis sendiri menjadi koleksi perpustakaan di rumah bisa menjadi hiburan untuk diri sendiri. Itu saja alasannya tidak ada yang lebih.
Sejak menulis di Kompasiana mulai tahun 2014 muncul keinginanku memiliki buku fisik yang berisikan kumpulan puisi.
Keinginan tersebut bisa terwujud dengan terbitnya buku kumpulan puisi berjudul, "Mimbar Tua" pada tahun 2020. Ini buku kumpulan puisi pertama yang ditulis sendiri. Â Sebelumnya ada puluhan buku bersama dengan penulis puisi lainnya.
Selama tahun 2024 ini ada beberapa kumpulan puisi yang kutulis sendiri terbit seperti berjudul, Debat, Pada Sebuah Masjid, Pengunyah Melati, Kota Mati, Memandang Terang dan Penari. Ada 6 buku kumpulan puisi dan ditanbah 21 buku kumpulan puisi sudah terbit tahun sebelumnya. Berarti sudah ada 27 buku kumpulan puisi yang ditulis sendirian.
"Untuk apa buku kumpulan puisi sebanyak itu?" Tanya seorang teman.
Pertama, menjadikan buku-buku ini koleksi pribadi untuk dipajang di rak buku di rumah. Sama dengan koleksi-koleksi yang lain yang ada di rumah seperti keramik, lukisan dan lain-lain.
Kedua, untuk dibaca sendiri ketika kangen dengan karya-karya yang pernah dibuat mau pun dibaca teman-teman yang datang ke rumah. Ada kebanggaan sendiri bisa memberikan sajian buku karya sendiri kepada teman-teman penyuka puisi.
Ketiga, lebih mudah untuk mencari karya-karya yang lama dengan membuka buku fisik yang menjadi koleksi bisa menemukan karya-karya yang pernah ditulis beberapa tahun sebelumnya.