Ayah bukan penyair. Bukan pula guru bahasa Indonesia di sekolah. Ia hanyaalah buruh tambang timah di pulau Bangka.
Mengisi waktu luangnya sebagai buruh tambang ayah mengajar mengaji anak-anak di sekitar rumah kontrakan tempat kami tinggal. Hampir tidak ada waktu ayah berdiam diri di sepanjang hari. Waktu dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku, emak dan 2 orang adikku waktu itu.
Ia juga pencari kayu bakar di hutan yang lumayan jauh dari tempat kami tinggal. Mengayuh sepeda bersama teman-temannya menuju hutan. Kayu bakar yang berhasil dibawa pulang sebagian untuk dijual dan sisanya untuk emak memasak.
Kesibukannya sepanjang hari dengan kelelahan yang mendera tidak menyurutkan semangat ayah meladeni anak-anaknya. Termasuk ketika aku minta diajarkan membuat puisi.
"Ayah, ada tugas dari guru bikin puisi tapi aku tidak bisai," kataku.
Ayah langsung mengambil penaku ia mulai menulis. Aku ingat waktu itu lahirlah puisi berjudul "12 Tahun yang Lalu" mengingingatkan waktu kelahiranku. Waktu itu usiaku 12 tahun masih duduk di kelas 6 SD.
Aku mencoba nengingatkan kembali puisi yang diajarkan ayah. Aku hanya ingat baris pertamanya saja merupakan pengulangan dari judul, "12 tahun yang lalu aku dilahirkan...." hanya itu saja.Â
Aku berusaha mencari puisi itu di tumpukan buku pelajaran ketika masa SD dulu. Sebagian sudah dimakan rayap. Namun tidak juga ditemukan.
Ayah tidak hanya pandai membuat syair namun juga tulisan tangannya sangat indah. Ia juga jago membuat kaligrafi. Hingga ayah dipilih menjadi juri Musabaqoh Tilawatil Quran tingkat kabupaten untuk cabang lomba qotil Quran. Komplit kepiawaian ayah tidak hanya syair  indah juga kaligrafi yang ia buat juga tidak kalah indahnya.
Ingat kembali ketika ayah mengajarkan aku menulis puisi menjadi tonggak awal sehingga mendorong aku untuk terus menulis puisi. Aku merasa puisi yang aku buat tidak sebagus puisi yang ayah ajarkan kepadaku.
"Puisimu bagus coba dikirim ke majalah ataupun surat kabar," kata guru bahasa Indonesia ketika masih SMA.
Guru bahasa Indonesia waktu SMA, ibu Sentia tidak selihai ayah dalam menulis puisi. Ternasuk guru bahasa ketika SD dan SMP. Aku tetap meyakini guru pusiku adalah ayahku.
"Banyak membaca buku akan lancar menulis juga akan lancar berpidato," pesan ayah kepadaku.