Menjelang dimulainya tahun pelajaran baru, pekan lalu sekelompok orang tua siswa beramai-ramai medatangi SMK Negeri 2 Sungailiat, kabupaten Bangka untuk menagih seragam praktik siswa yang sudah 2 tahun tidak kunjung didapatkan.
Orang tua siswa sudah melunasi untuk pembelian seragam praktik berupa pakaian dan sepatu sebesar Rp 1,5 juta.
Masa 2 tahun belum dipenuhinya seragam yang dibeli, berarti masih tinggal 1 tahun lagi anak mereka berada di sekolah.
Pihak SMK Negeri 2 Sungailiat melalui kepala sekolahnya Pego, yang baru 3 bulan sebagai kepala sekolah menjelaskan bahwa yang melakukan pengadaan pakaian seragam adalah Komite Sekolah.
Bila benar Komite Sekolah yang melakukan berarti telah terjadi pembiaran selama 2 tahun yang dilakukan pihak sekolah.
Diakui Pego, ada larangan melalui surat edaran dari kementrian pendidikan nasional bahwa pihak sekolah dilarang jualan seragam sekolah karena itu diserahkan kepada Komite Sekolah.
Kendati ada larangan sekolah berjualan seragam sekolah, masih banyak cara yang bisa dilakukan dengan melibatkan Komite Sekolah seperti yang terjadi di SMK Negeri 2 Sungailiat.
Bisa pula menggunakan koperasi sekolah maupun rekanan yang ditunjuk pihak sekolah, tentu penunjukkan itu tidak sekadar tunjuk tetap ada sejumlah kesepakatan minimal pihak sekolah nenerima komisi sekian persen dari rekanan.
Karena itu apapun alasan SMK Negeri 2 Sungailiat, ia turut bertanggungjawab karena telah memfasilitasi memberikan izin kepada Komite Sekolah untuk pengadaan seragam.
Apa yang dialami orang tua siswa SMK Negeri 2 Sungailiat juga dialami semua orang tua, tapi mereka lagi bernasib apes karena dibohongi pihak yang melakukan pengadaan pakaian seragam.
Jumlah yang yang tidak sedikit Rp 1,5 juta yang sudah dilunasi untuk membayar seragam praktik, apalagi ekonomi orang tua siswa yang pas-pasan terasa beban yang berat untuk memenuhi jumlah uang yang harus dilunasi.
Saya sebagai orang tua selalu mengalami setiap kali mulai mendaftarkan anak di sekolah baru, tidak ada pilihan lain harus mengukur dan membeli seragam di sekolah.
Dipaksakan untuk nembeli seragam di sekolah, namun ada kelonggaran diberikan kepada orang tua setelah pihak sekolah memberikan keringanan yakni pelunasan dapat dicicil (angsuran).
Memang tidak bisa, tidak membeli seragam yang pengadaannya oleh pihak sekolah karena ada beberapa seragam yang tidak dijual secara bebas seperti batik dan pakaian olahraga.
Kasus yang terjadi di SMK Negeri 2 Sungailiat dapat dijadikan pelajaran oleh pihak sekolah yang menyediakan pakaian seragam sekolah di tahun pelajaran baru khususnya dalam menunjuk rekanan yang bisa dipercaya.
Bila benar Komite Sekolah yang berbohong berarti diduga ada oknum pengurus Komite yang melakukan kecurangan. Ini menunjukkan Komite Sekolah telah menyalahi aturan yakni berbisnis.
Untuk menghindari kejadian serupa terulang kembali serta tidak terkesan sekolah berbisnis seragam sekolah sebaiknya pengadaan tidak melibatkan pihak sekolah tapi dilakukan pemilik usaha yang ditunjuk.
Pandangan orang tua siswa tetap tertuju kepada pihak sekolah karena yang mengukur pakaian siswa, menerima pembayaran, hingga pendistribusian pakaian yang sudah siap pakai adalah guru dan pegawai adninistrasi di sekolah. Wajar orang tua menggeruduk sekolah ketika ada masalah dalam pengadaan seragam sekolah seperti yang terjadi di SMK Negeri 2 Sungailiat.
Sekolah pun tidak menolak ketika ada peluang penghasilan tambahan dari pengadaan seragam sekolah. Namun jangan terlalu tinggi mencari keuntungan, kualitas seragam juga harus diutamakan.
Kasihan siswa yang belum lama menggunakan seragam sudah rusak serta menggunakan bahan murahan sehibgga siswa tidak merasa nyaman nengenakannya.
Hanya gara-gara pengadaan seragam sekolah bernasalah, jangan merusak citra lembaga pendidikan yang identik dengan menularkan kebaikan.
Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H