Idul Fitri yang paling berkesan bagi saya dan menjadi catatan penting dalam perjalan hidup ketika tahun 2001 saya merayakan di Banda Aceh.
Bapak mertua yang sedang bertugas di Aceh menantang kami untuk berlebaran di sana. Istriku menerima tantangan itu, meskipun kabarnya Aceh belum aman karena masih ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pergi mudik tanpa persiapan dan persediaan uang yang sedikit. Kami putuskan menggunakan transportasi laut saja.
Waktu itu masih ada kapal penumpang Pangrango. Berangkat dari pelabuhan Tanjung Gudang Belinyu, Bangka dengan tujuan akhir di pelabuhsn Malahayati, Aceh. Waktu perjalanan selama 3 hari. Perjalan yang panjang di tengah menjalankan ibadah puasa, benar-benar diuji karena menguras tenaga dan rasa bosan lamanya di atas kapal.
Saya, istri dan anak kami yang baru berusia hampir 2 tahun. Si Sulung waktu itu masih lucu-lucunya. Selama di perjalan kami menghadapi berbagai kondisi cuaca hingga gelombang tinggi membuat banyak penumpang yang mabuk laut. Tapi Si Sulung yang lincah tidak sedikitpun terpengaruh sehingga istriku harus bekerja keras di tengah gelombag tinggi menjaganya.
Saya sempat mrlaporkan peristiwa di pelabuhan Malahayati melalui Siaran RRI. Waktu itu saya masih sebagai reporter RRI. Saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Serambi Mekah sebutan lain untuk Banda Aceh, sehari menjelang Idul Fitri.
Mobil yang menjemput diganti dengan mobil lain sehingga agak tetlamba tiba di Banda Aceh. Sepanjang perjalan sebelum tiba di Banda Aceh kami melalui jalan yang terdapat beberapa pos penjagaan yang terdapat beberapa anggota TNI berjaga-jaga. Mirip suasana perang dalam film-film barat.
Kami tiba menjelang berbuka puasa di tempat tujuan di Banda Aceh. Malam lebaran kami di Banda Aceh. Esok pagi telah dipilih tempat solat Id di masjid raya Baiturrahman.
Pagi hari 30 menit sebelum dimulai salat kami sekeluarga sudah tiba di halaman masjid raya Baiturrahman. Jemaah sudah penuh sesak. Kami hanya kebagian tempat di halaman masjid. Terlihat masjid raya Baiturrahman  yang megah, yang sebelumnya hanya saya lihat di lembaran kalender, televisi, maupun media cetak lainnya.
Beberapa sumber menyebutkan masjid ini didirikan pada tahun  1292 M oleh Sultan Alauddin Johan Mahmudsyah. Sementara, sumber yang lain menyebutkan masjid ini didirikan oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612 M.
Bertemu Teman Kuliah
Saya sempat katakan kepada istri, "belum ada panggilan ke Mekkah, ke Serambi Mekkah juga sudah alhamdulillah." Tahun 2001 merupakan Idul Fitri yang paling berkesan karena saya bisa menginjakkan kaki di provinsi paling Barat Indonesia itu.Â
Saya juga tidak menyangka bisa belebaran di Aceh. Termasuk teman saya Zul, teman kuliah di Yogyakarta. Ketika usai salat Id saat khotib menyampaikan khotbah saya melihat Zul sedang merekan video suasana salat Idul Fitri di masjid raya Baiturrahman. Zul berkerja sebagai juru kamera di TVRI Banda Aceh.
Terlihat wajah Zul terperangah ketika saya sapa. Ia hampir tidak percaya, saya yang ia kenal tinggal di pulau Bangka bisa berada di Aceh. Banyak teman saya di Aceh mereka selain bekerja di TVRI juga bekerja di RRI. Silaturahmipun terjalin dengan nuansa Idul Fitri yang berbeda.
Setelah sepekan di Banda Aceh kamipun meninggalkan Aceh. Saya merasakan inilah Idul Fitri yang paling berkesan. Mungkin saya tidak bisa lagi berlebaran di Serambi Mekkah seperti tahun 2001 lalu.
Sungailiat, 24 Mei 2020/ 1 Syawal 1441 H
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H