Saya punya koleksi beberapa buku tentang Chairil Anwar diantaranya, Arief Budiman Chairil Anwar dan Pertemuan, Pulanglah Dia si Anak Hilang, dan Chairil Anwar Aku ini Binatang Jalang. Buku ini menjadi salah satu refrensi saya untuk mengetahui sosok penyair Indonesia yang meninggal dunia dalam usia muda yakni 27 tahun.
Perjalanan hidup Chairil Anwar dapat diketahui lebih jauh melalui buku yang ada. Sosok yang sangat dikenal dengan karya puisinya Aku, Diponegoro, Krawang-Bekasi, dan lain-lain. Tapi banyak yang tidak tahu puisi Chairil yang pertama berjudul Nisan, yang ditulis Oktober 1942 diperuntukkan neneknya yang meninggal dunia.
Tanggal meninggalnya Chairil Anwar yakni 28 April 1949 diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Di hari ini saya tidak menulis puisi di Kompasiana, bukan karena lagi memperingati Hari Puisi Nasional. Tapi lagi tidak ada puisi yang akan ditulis. Tidak tahu mengapa? Mudah-mudahan esok berpuisi lagi.
Saya menyukai karya Chairil Anwar. Karyanya telah menjadi inspirasi saya berpuisi. Tapi saya bikan epigon Chairil Anwar. Walaupun demikian karya saya tetap biasa-biasa saja. Menulis puisi bagi saya sebagai lahan merdeka untuk menuangkan kata-kata.Â
Kapan ya saya pertama kali menulis puisi? kayaknya sudah lama sekali sejak SMP, bermula ayah menuliskan puisi buat saya berjudul "14 tahun Yang Lalu", merupakan refleksi ulang tahun saya ke 14 tahun. Tapi tidak ada lagi dokumentasinya. Bisa dikatakan itu sebagai mula saya dikenalkan dengan puisi oleh ayah.
Saya hanya punya dokumentasi puisi saya yang pertama dimuat di media cetak yakni tabloid NU. Inilah untuk pertama kalinya saya mendapat honor dari puisi berjudul "Tahun 2005 ", yang saya tulis tahun 1988 dan diterbitkan September 1988. Kalau 28 April sebagai hari puisi nasional, kalau puisi yang memiliki kesan tersendiri seperti puisi yang pertama dimuat di media cetak sebagai hari puisi saya. Bearti sudah 30 tahun berkarya. Hahaha kayak penyair hebat saja.
Sekedar mengingatkan kembali dari jejak yang masih ada hingga sekarang menulis  di Kompasiana. Lumayan, sudah ada antalogi puisi yang memuat karya saya bersama penyair di Bangka Belitung telah diterbitkan tahun 2018.Â
Namun antologi puisi "Hujan Kata Kota Logam" bersama beberapa penyair Bangka Belitung tidak pernah di laonching. Para penulisnya sangat sibuk, harap maklum. Nanun buku-bukunya sudah saya bagikan ke perpustakan-perpustakasan hingga desa.
Kesukaan saya pada puisi baik membaca dan menulisnya. Mengantarkan saya menjadi pembawa acara Sastra dan Budaya di RRI Sungailiat tahun 2006. Saya masih menyimpan piagam penghargaan dari kepala RRI pada peringatan Hari Radio ke 61 yang diberikan kepada saya yang membawa acara itu.
Acara itu hanya berlangsung 1 tahun saja. Saya tidak tahu mengapa dihentikan. Saya membawa acara ditemani Heru Sudrajat, seorang wartawan.Â
Acara yang berlangsung 45 menit itu mulai pukul 16.15 -17.00 Wib mengajak pendengar berinteraksi membaca puisi. Banyak respon penelpon dari pejabat tinggi, jaksa, guru, pedagang, pelajar hingga orang biasa.Â
Saya ingat ketika sedang membawa acara yang menelepon ikut nimbrung berinteraksi adalah Gubernur Bangka Belitung waktu itu Eko Maulana Ali, Sekda Bangka Tarmizi Saat yang kemudian menjadi Bupati Bangka, Kepala Dinas Pariwisata Yan Megawandi yang kemudian hari ia menjabat Sekda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Bersama pendengar yang lain mereka membaca puisi ataupun hanya sekedar menyampaikan curahan hati tentang seni. Terasa saya telah membumikan puisi di bumi Bangka Belitung. Tapi sedang asyik-asyiknya membawa acara, pihak RRI menghentikan acara itu.Â
Saya tidak kecewa karena saya memahami subyektifitas selalu ada dalam seni. Tapi kadang subyektifitas itu rasanya beda-beda tipis dengan antara suka dan tidak suka.
Kalau tidak baik acara itu mengapa saya diberikan pimpinan RRI penghargaan? Mungkin oknum yang ada di tubuh RRI ada yang tidak suka.
Tulisan itu mengungkapkan bagaimana Sutardji Calazom Bachri ketika menjadi redaktur puisi majalah Horizon mengutamakan dan meloloskan penyair yang sealiran dengannya. Epigonnya. Syah-syah saja subyektif.
Di hari puisi nasional ini mari kita bumikan puisi kita di Bumi Pertiwi yang sedang dilanda pandeni Covid-19 bisa terus berpuisi. Bila masih ada seperti acara yang saya bawakan di radio dulu, semua yang suka puisi bisa membaca puisi dari rumah cukup via telepon bisa menghilangkan rasa bosan dan semangat kembali di tengah pandemi. Apa lagi yang dibaca karya Chairil Anwar.
Hari Puisi Nasional di tengah pandemi, dapat menyemangati seluruh anak negeri. Seperti semangat Chairil Anwar dalam berpuisi. Selamat Hari Puisi Nasional.
Salam hangat dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H