Saya ingat ketika sedang membawa acara yang menelepon ikut nimbrung berinteraksi adalah Gubernur Bangka Belitung waktu itu Eko Maulana Ali, Sekda Bangka Tarmizi Saat yang kemudian menjadi Bupati Bangka, Kepala Dinas Pariwisata Yan Megawandi yang kemudian hari ia menjabat Sekda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Bersama pendengar yang lain mereka membaca puisi ataupun hanya sekedar menyampaikan curahan hati tentang seni. Terasa saya telah membumikan puisi di bumi Bangka Belitung. Tapi sedang asyik-asyiknya membawa acara, pihak RRI menghentikan acara itu.Â
Saya tidak kecewa karena saya memahami subyektifitas selalu ada dalam seni. Tapi kadang subyektifitas itu rasanya beda-beda tipis dengan antara suka dan tidak suka.
Kalau tidak baik acara itu mengapa saya diberikan pimpinan RRI penghargaan? Mungkin oknum yang ada di tubuh RRI ada yang tidak suka.
Tulisan itu mengungkapkan bagaimana Sutardji Calazom Bachri ketika menjadi redaktur puisi majalah Horizon mengutamakan dan meloloskan penyair yang sealiran dengannya. Epigonnya. Syah-syah saja subyektif.
Di hari puisi nasional ini mari kita bumikan puisi kita di Bumi Pertiwi yang sedang dilanda pandeni Covid-19 bisa terus berpuisi. Bila masih ada seperti acara yang saya bawakan di radio dulu, semua yang suka puisi bisa membaca puisi dari rumah cukup via telepon bisa menghilangkan rasa bosan dan semangat kembali di tengah pandemi. Apa lagi yang dibaca karya Chairil Anwar.
Hari Puisi Nasional di tengah pandemi, dapat menyemangati seluruh anak negeri. Seperti semangat Chairil Anwar dalam berpuisi. Selamat Hari Puisi Nasional.
Salam hangat dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H