Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah bekerja sebagai Jurnalis Radio, Humas Pemerintah, Pustakawan dan sekarang menulis di Kompasiana

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pers Daerah, Oplah dan Upah yang Rendah

9 Februari 2020   16:20 Diperbarui: 9 Februari 2020   21:34 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masih ada media yang tidak jelas dalam penggajian karyawan. Kesejahteraan wartawan sangat mempengaruhi profesionalisme dan independensi seorang wartawan."

Hari pers tanggal 9 Februari 2020, diperingati komunitas wartawan di daerah saya dengan kegiatan bakti sosial berupa membersihkan sampah di lingkungan pantai di Sungailiat, kabupaten Bangka dan memberikan santunan bagi warga kurang mampu. Rutinitas ini sudah berlangsung lama, tahun 2020 ini kembali digelar. Kepedulian para wartawan di Bangka patut diapresiasi.

Bagaimana dengan kehidupan para wartawan sendiri? Apakah kesejahteraan mereka dapat dijamin dari perusahaan media tempat mereka berkecimpung? Tidak ada yang tahu dan saya pun tidak mau tahu berapa mereka digaji perusahan media. 

Rasanya kurang etis bertanya, berapa jumlah gaji mereka. Tapi bisa dilihat dari banyaknya oplah media cetak dan banyaknya iklan bisa menjadi ukuran bagaimana perusahaan media mensejahterakan karyawan. 

Dari kasat mata dapat terlihat beberapa media cetak yang terbit di Bangka Belitung dan beredar di Bangka, dari 4 media cetak yang ada tertinggi oplahnya yakni Bangkapos, Bangka Belitung pos, Rakyat Pos dan Radar Bangka. 

Bagaimana dengan media daring, ini banyak jumlahnya dan terus bermunculan. Untuk media daring ini bila dilihat masih sedikit jumlah iklannya, kecuali media daring yang berada dibawa naungan kelompok media besar seperti Kompas grup dan Jawa Pos. 

Bisa terlihat untuk kelompok media besar ini kesejahteraan wartawannya lebih baik, untuk media yang lain masih dibawahnya dalam urusan kesejahteraan wartawan. 

Bukan hanya media cetak dan media daring bersaing mendapatkan kue iklan tapi juga media radio dan televisi. Untuk mendapatkan kue iklan itu sangat sedikit, persaingan juga tidak banyak. 

Di Sungailiat saja tidak ada lembaga penyiaran swasta. Pernah ada tapi sudah tutup, bukti sulitnya menghidupkan media radio dan televisi. Sekarang ini hanya ada RRI dan radio komunitas. 

Masih ada media yang tidak jelas dalam penggajian karyawan. Kesejahteraan wartawan sangat mempengaruhi profesionalisme dan independensi seorang wartawan. 

Bila tidak, status wartawannya hanya akan menjadi senjata untuk memenuhi kepentingan pribadi, bukannya mengutamakan hasil karya jurnalistik sebagai kontrol sosial untuk kebaikan bersama.

Terkait dengan kesejahteraan, belum ada keluhan yang disampaikan wartawan. Tidak ada wartawan yang melakukan unjuk rasa menuntut dinaikkan upah. Semuanya berjalan baik-baik saja. 

Saya juga lama bersama teman-teman wartawan ketika masih sebagai reporter radio, lebih 20 tahun. Juga tidak ada keluhan. Paling juga mereka ingin merubah nasib, berhenti jadi wartawan beralih sebagai politisi. 

Ada pula yang memilih jadi PNS. Ini artinya apa, mereka meninggalkan profesi lamanya sebagai jurnalis untuk mendapatkan kondisi lebih baik secara ekonomi. Demikian realita yang ada. 

Berbeda dengan saya, sebagai jurnalis yang PNS. Mungkin hanya kami yang bekerja di media milik pemerintah RRI dan TVRI satu-satunya jurnalis yang disumpah di atas kitab suci.

Ketika ingin pindah tidak lagi bekerja di media massa, tidak perlu tes lagi cukup pindah saja ke instansi pemerintah yang lain melalui prosedur yang sudah ditentukan. Seperti yang saya lakukan, bukan karena faktor ekonomi karena sama-sama instansi pemerintah dengan penggajian yang sudah jelas. 

Oplah dan iklan yang banyak bagi satu media dapat diukur tingkat kesejahteraan wartawan. Pers di daerah peluang sumber pendapatan untuk meraih masukan keuangan dari iklan sangat terbatas, oplah (media cetak) masih menjadi sumber penghasilan untuk pembelian satu per satu eksemplar oleh pelanggan.

Sasaran penghasilan lainnya yang cukup besar yakni menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Kue APBD ini jumlahnya terbatas bagi media, sehingga harus bersaing dengan media massa yang lain. 

Ketika pindah tugas ke Pemda, saya sekitar 6 tahun di Humas tugasnya tidak jauh dari aktifitas melayani wartawan. Merasa sulitnya membagi dana yang sedikit untuk media massa yang banyak.

Pemda tetap menjadi lahan subur bagi media massa untuk mendapatkan inkam dari program kerja sama. Begitu pula dengan banyaknya oplah berlangganan, juga Pemda masih menjadi pasar bagi distributor surat kabar di Bangka ditengah pembaca yang mulai beralih ke media daring. 

Ketika peringatan Hari Pers Nasional dengan tradisi yang sudah berlangsung lama, dengan melakukan bakti sosial saya tidak melihat kesulitan ekonomi yang dihadapi wartawan.

Kalau pun masih ada wartawan yang upahnya tidak jelas, saya hanya bisa prihatin. Setiap momentum peringatan Hari Pers Nasional jadikan renungan, sejauh mana pers bisa menjalankan fungsinya sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Selamat hari pers nasional tahun 2020. 

Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al Ansori. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun