Penggunaan plastik sekali pakai tak terbendung lagi bila tidak ada komitmen dari kita untuk menolak plastik, terutama ketika menghadapi para pedagang saat berbelanja untuk kebutuhan berbuka puasa maupun sahur.
Plastik kantong kresek untuk membawa belanjaan yang diberikan pedagang, bila terus diterima maka plastik akan menumpuk di  tempat sampah. Komitmen untuk tidak menggunakan plastik terutama sebagai wadah pembungkus makanan tercetus setelah istri membuat pepes ikan yang dibungkus dengan daun pisang.
Penggunaan daun sebagai alat pembungkus makanan sudah mulai ditinggalkan, sebagian besar telah digantikan dengan plastik tapi untuk ikan pepes sulit rasanya daun pisang sebagai pembungkus digantikan dengan plastik. Pasti rasanya tidak karuan dan tidak sehat karena  dampak plastik yang digunakan.
Terkesan aneh bagi pedagang ketika saya menolak menggunakan plastik darinya untuk membawa barang belanjaan. Biarkan saja, karena sudah komitmen tidak akan menggunakan plastik. Kalau banyak orang seperti saya menolak menggunakan plastik yang ditawarkan pedagang, saya yakin para pedagang juga perlahan akan meninggalkan plastik.
Seperti ikan pepes yang sudah dikodratkan pembuatannya menggunakan daun pisang sebagai pembungkus, hingga saat ini masih tetap menggunakan daun pisang di daerah kami. Namun lontong yang dulunya hanya menggunakan daun sebagai alat pembukus, bisa menggunakan daun pisang maupun daun yang dulu banyak terdapat di daerah kami yakni daun Simpur.
Namun sekarang lontong sudah dibukus plastik. Semuanya serba plastik. Kalau ketupat tidak akan tergantikan tetap menggunakan daun kelapa.Â
Terasa bila makanan menggunakan daun sebagai pembungkus akan terasa lebih enak, seperti halnya rasa ikan pepes. Sebelum maraknya penggunaan plastik kresek, dulu alat pembungkus para pedagang di pasar Sungailiat, kabupaten Bangka menggunakan daun. Daun Simpur namanya, biasanya dipergunakan para pedagang ikan untuk membukus ikan, daging dan lain-lain.
Ingat daun Simpur ingat dengan Haji Hun sosok lansia dekat rumah saya tinggal waktu itu yakni di Air Ruai, Pemali sebagai sosok pekerja keras dalam usia 80 tahun lebih hingga akhir hayatnya berjualan daun Simpur, kemudian dijual kepada para pedagang di pasar sebagai alat pembungkus berbagai barang belanjaan.
Sebenarnya bila pedagang ingin menerima daun Simpur, alat pembungkus itu masih banyak tubuh di rawa-rawa maupun ditepi kolong (danau) bekas penambangan timah di daerah kami. Namun karena para pedagang ingin praktisnya, mereka beralih ke plastik sekali pakai. Pertimbangannya plastik lebih murah, bila dibandingkan dengan Daun Simpur. Sulit memang para pedagang meninggalkan plastik, untuk itu perlu adanya koitmen bersama menolak plastik sebagai sampah yang merusak lingkungan.Â