Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah bekerja sebagai Jurnalis Radio, Humas Pemerintah, Pustakawan dan sekarang menulis di Kompasiana

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya dan Agama Itu Saudara, Sama-sama Menguatkan

23 Desember 2018   03:14 Diperbarui: 23 Desember 2018   03:14 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya merasakan adanya gesekan terkait dengan budaya dan agama saat ini. Sesusungguhnya penyebaran agama, terutama agama Islam tidak terlepas dari peran budaya yang sudah berkembang sebelumnya oleh agama sebelum Islam seperti Hindu dan Budha.

Demikian pula yang dilakukan para wali Allah ( Wali Songo ), ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa yang waktu itu beragama Hindu dan Budha tidak pernah melepaskan kebiasaan masyarakat yang menjadi budaya seperti adat perayaan Mauludan di Yogyakarta. 

Gesekan itu terjadi munculnya penentangan setelah pemahaman agama yang benar dan melepaskan pengaruh budaya, sehingga muncul penilaian terhadap aktifitas budaya itu dengan menyebutnya bid'ah, syirik dan lain - lain yang akan dinilai sebagai dosa besar. Karenanya masyarakat akan takut mempertahankan dan turut serta dalam kegiatan budaya, karena tidak ingin berdosa.

Hal serupa juga terjadi didaerah saya. Waktu saya masih sebagai penyiar radio membawakan acara dipagi hari yang menampung berbagai pendapatan dan keluhan masyarakat. Penentangan masalah kegiatan budaya diantaranya adat Rebo Kasan di desa Air Anyir, kecamatan Merawang Kabupaten Bangka sempat terucap dari pendengar. 

Bagi para penentang kegiatan adat itu menilainya syirik, bertentangan dengan Islam. Rebo Kasan digelar setiap tahun dalam tahun Hijriah, yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar yang diyakini, Tuhan menurun bala' yakni berbagai mara bahaya sehingga warga setempat menggelar Rebo Kasan. 

Rebo Kasan acara adat yang digelar diawali dengan suara azan dan membuat air wafak yakni air yang dido'akan tokoh agama yang mempin acara adat, selain warga yang hadir memanifestasikan bentuk melepas balak itu dengan menarik Ketupat Lepas. Penarikan Ketupa Lepas itu berupa dua daun kelapa muda ( daun pembuat sarung ketupat ) yang disatukan, kemudian di tarik 2 orang yang berpasangan. Bila ketupat lepas itu, terlepas berarti terhindar dari bala'.

Perpaduan budaya dan agama ini, mulai terjadi pertentangan. Ketika acara itu di gelar tahun ini sempat mendatangankan Ustaz Yusuf Mansyur yang juga membantah keyakinan warga setempat, karena Allah tidak menurunkan bala' dalam satu hari. Bala' itu datang tidak diketahui kapan, karena itu rahasia Tuhan. 

Setelah menyampaikan tausiah Ustaz Yusuf mansyur dan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman meninggalkan lokasi, tidak mengikuti ritual. Semakin menguatkan warga bahwa adat itu salah menurut ajaran Islam.

Perlahan budaya yang telah menjadi kalender event pariwisata ini akan tergerus ketika dibenturkan dengan ajaran agama yang dinilai bertentangan. Kondisi ini, cepat atau lambat budaya itu akan ditinggalkan masyarakat, bila terus dibenturkan dengan agama. Hilanglah adat itu.

Adat di Bangka Belitung lainnya yakni Ceriak Nerang dan Naber Laut di desa Kundi, kabupaten Bangka Barat , juga tidak ada kabarnya lagi. Apakah masih tetap digelar atau tidak. Adat yang dipimpin para dukun ini, berlangsung ditengah - tengah warga yang beragama Islam dan dukunnya juga beragama Islam. 

Perlu adanya polesan dalam acara adat ini, sehinga tidak ada prosesinya yang bertentangan dengan ajar Islam. Seperti Rebo Kasan, bila ajaran Islam tidak membenarkan keyakinan Tuhan menurunkan bala' hanya di hari tertentu saja agar dapat dihilangkan. 

Perlu adanya kesepakatan antara tokoh agama dan pemangku adat sehingga adat dan agama dapat berjalan seiring. Adatpun tidak punah. Pemufakatan yang di rumuskan budayawan dan tokoh agama di Yogyakarta beberapa waktu lalu dapat menjadi panduan para tokoh agama dan tokoh adat di daerah.

Mengutip dari kemenag.go.id dari Permufakatan Yogyakarta yang dirumuskan budayawan dan agamawan yang  akan menjadi perhatian serius bagi pemerintah yakni Menteri Agama  yaitu:

  • menyatakan prihatin atas terjadinya gesekan di kalangan masyarakat terkait budaya dan agama;
  • menyerukan kepada para tokoh agama untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa tujuan akhir dari ajaran agama adalah untuk membentuk akhlak mulia, yang dengannya masyarakat berinteraksi sosial secara tertib, toleran, saling menghormati satu dengan lainnya, berperilaku sabar dan menahan diri, serta bersyukur atas anugerah keragaman bangsa Indonesia;
  • menyerukan kepada para tokoh budaya untuk terus mengembangkan produk-produk kebudayaan yang menghargai karakter dasar masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas.
  • mendorong pemerintah untuk mengembangkan model pendidikan yang dapat menciptakan jembatan antara relijiusitas, nasionalitas, dan etnisitas bangsa Indonesia;
  • mendorong pemerintah agar menjadikan karya seni, karya sastra relijiusitas, serta artefak-artefak kebudayaan lokal sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dalam rangka membentuk kebanggaan atas identitas keragamaan dan kebudayaan bangsa Indonesia.
  • mendorong pemerintah dan para penyelenggara pendidikan untuk secara sistematis dan berkelanjutan menanamkan ajaran-ajaran moral dasar khususnya bagi anak-anak dan generasi muda tentang nilai kerjasama, tanggungjawab, kejujuran, disiplin, mandiri, dan ajaran untuk tidak menerima sesuatu yang bukan haknya.
  • menyerukan kepada semua pihak agar melakukan internalisasi nilai dan moral agama secara substantif, menghindari pemikiran diskriminatif terhadap tafsir keagamaan lain, menyadari bahwa keragaman adalah takdir dan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia, serta menjadikan spiritualitas sebagai basis kemanusiaan dan kebudayaan yang otentik.

Budaya memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, tempo dulu sehingga berkembaang sebagai agama terbesar yakni mayoritas. Realitas ini jangan dilupakan. Budaya dalam bentuk adat istiadat telah menjadi aset suatu daerah, apa lagi telah menjadi daya tarik para wisatawan. 

Budaya terus berkembang dan digelar, namun setelah memasuki alam demokrasi yakni era reformasi adat seperti dipertentangkan. Semua orang bebas berpendapat. Bila dibenturkan dengan agama, adat istiadat pasti kalah. Untuk menyelamatkan  adat istiadat, harusnya tidak ada yang kalah dan menang tapi semuanya menang untuk tetap menempatkannya sebagai suatu kebiasaan.

Jangan abaikan peran lembaga adat di daerah. Para pemangku adat agar duduk bersama -sama dengan tokoh agama untuk menyelamatkan budaya dengan adat istiadat sebagai kearifan lokal.

Salam dari pulau Bangka.

Rustian Al Ansori

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun