Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis kehidupan, Menghidupkan tulisan

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Malu Berbahasa Daerah Sama Saja Malu dengan Ibu Sendiri

23 Oktober 2018   19:17 Diperbarui: 28 Oktober 2018   19:49 1805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama diajarkan ketika kita masih balita saat mula belajar berkata-kata. Ibu kita yang mengajarkan bahasa daerah yang sehari - hari dipergunakan. 

Namun telah terjadi pergeseran sosial budaya saat ini, ada orang tua tidak mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya dengan berbagai alasan, ada orang tua yang mengajarkan bahasa pertama kepada anak-anaknya dengan bahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia. 

Tujuannya agar anak bisa berbahasa Inggris dengan mudah karena sudah terbiasa sejak anak-anak, serta pasih berbahasa Indonesia sejak usia balita dengan tujuan diantaranya agar kelihatan intelek, bukan orang kampung dan tujuan lainnya. Bahasa asing juga penting tapi jangan meninggalkan bahasa daerah, sebagai bahasa ibu.

Menjadi pertanyaan mengapa masih ada orang tua tidak ingin mengajarkan bahasa daerah sejak balita sebagai bahasa ibu kepada putra putrinya? Pergeseran dalam keluarga tidak membiasakan anak - anaknya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, salah satu penyebab mulai hilangnya dialek bahasa daerah di daerah tertentu. Termasuk di daerah tempat saya tinggal juga sudah ada dialek bahasa daerah yang sudah tidak dipergunakan lagi.

Tidak perlu gengsi sebenarnya menggunakan bahasa daerah. Beberapa dialek bahasa daerah yang dipergunakan seorang artis misalnya telah menjadi indentitasnya. Bahasa daerah memiliki nilai ekonomi karena bisa menghasilkan uang dengan bahasa daerah yang dipergunakan oleh seorang artis. 

Artis-artis dari Jakarta menggunakan bahasa Betawi, bahasa daerah lainnya yang banyak dipergunakan dalam berkesnian para artis kita seperti bahasa Minang, Tegal, Sunda, Jawa, Bali dan beberapa dialek bahasa daerah lainnya.

Begitu pula para penyiar radio, bahasa menjadi kekuatan yang dominan. Penyiar radio juga sering menggunakan dialek bahasa daerah disela-sela siarannya. 

Namun ada sebuah siaran radio di daerah saya tidak ingin menyisipkan bahasa daerah setempat untuk siaran yang memiliki segmen anak muda, namun para penyiarnya berlogat gaya bahasa Jakarta ( Bukan Betawi ) seperti lu, gua, sih, dong dan lain - lain. Artinya sudah mulai ada gengsi menggunakan bahasa daerah.

Kalau saya, anak saya sejak mulai belajar bicara diajarkan secara natural saja dengan menggunakan bahasa yang saya pergunakan sehari - hari yakni bahasa daerah di tempat kami tinggal yakni bahasa daerah Bangka dialek Sungailiat. 

Kendati istri saya asal Padang ia juga berbahasa daerah tempat kami tinggal, tidak mengajarkan bahasa Minang. Anak - anak saya baru tahu bahasa Minang setelah sekolah dasar, itu juga dengan perbendaharaan bahasa Minang yang terbatas. Istri saya sangat menghargai bahasa daerah dimana kami tinggal sekarang, ia sangat menghargai bahasa daerah tempatnya tinggal saat ini bak pepatah “dimana bumi dipijak disitu langit di junjung.”

Menurut saya menghindari anak tidak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu adalah tindakan percuma karena ketika anak sudah mulai berinteraksi dengan teman - temannya ketika sudah mulai bersekolah, anak - anak akan menghadapi teman - temannya yang menggunakan bahasa daerah. Lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam penggunakan bahasa pergaulan bagi anak - anak.

Putri sulung saya selama 2 tahun mengikuti saya dan istri melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Kendati kami di rumah tetap menggunakan bahasa daerah asal daerahku, putri sulungku yang sudah bersekolah di TK waktu itu tetap kuat dipengaruhi teman-teman yang berbahasa Jawa sehingga ia lancar berbahasa Jawa ketimbang saya. 

Karena pintarnya ia berbahasa Jawa, teman - temanku satu kampus sangat senang berkomunisi berbahasa Jawa dengan putriku yang waktu itu baru berusia 3 tahun.

Setelah kami kembali ke Bangka, beberapa waktu kemudian teman saya dari Jawa telepon menanyakan, apakah putriku masih pandai berbahasa Jawa.

“ Satu bulan anakku pulang ke Bangka, saya kasi makan terasi Bangka, bahasa Jawanya jadi lupa,” candaku.

Membuktikan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi seseorang menggunakan bahasa, apa lagi dalam usia anak - anak. Berbeda dengan usia dewasa seperti aku waktu itu, empat tahun tinggal di Yogyakarta namun tetap tidak bisa juga berbahasa Jawa. 

Walau sehari - harinya berkomunikasi dengan orang Jawa. Terpaksa mereka mengalah sehingga berkomunikasi denganku menggunakan bahasa Indonesia.

Saya pernah kena batunya, ketika akan mewawancarai tukang sapu di Kali Urang, Yogyakarta. Nara sumber yang yang akan saya wawancarai tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa berbahasa Jawa. 

Waktu itu saya sedang menjalankan praktek belajar untuk membuat paket siaran televisi. Masih untung kameraman saya asal TVRI Palembang tapi kelahiran Solo bisa berbahasa Jawa, maka ia yang menjadi penterjemah. Ini sebagai bukti bahasa daerah masih sangat penting.

Untuk apa gengsi menggunakan bahasa daerah. Hilangnya bahasa daerah karena tidak lagi dipergunakan warganya, pertanda hilangnya sebagian peradapan dan lenyapnya sebagian kearifan lokal. 

Mari kita tetap pergunakan bahasa daerah, untuk melestarikan bahasa ibu. Malu berbahasa daerah sama saja malu dengan ibu sendiri.

Salam dari pulau Bangka

Rustian Al Ansori

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun