Putri sulung saya selama 2 tahun mengikuti saya dan istri melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Kendati kami di rumah tetap menggunakan bahasa daerah asal daerahku, putri sulungku yang sudah bersekolah di TK waktu itu tetap kuat dipengaruhi teman-teman yang berbahasa Jawa sehingga ia lancar berbahasa Jawa ketimbang saya.
Karena pintarnya ia berbahasa Jawa, teman - temanku satu kampus sangat senang berkomunisi berbahasa Jawa dengan putriku yang waktu itu baru berusia 3 tahun.
Setelah kami kembali ke Bangka, beberapa waktu kemudian teman saya dari Jawa telepon menanyakan, apakah putriku masih pandai berbahasa Jawa.
“ Satu bulan anakku pulang ke Bangka, saya kasi makan terasi Bangka, bahasa Jawanya jadi lupa,” candaku.
Membuktikan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi seseorang menggunakan bahasa, apa lagi dalam usia anak - anak. Berbeda dengan usia dewasa seperti aku waktu itu, empat tahun tinggal di Yogyakarta namun tetap tidak bisa juga berbahasa Jawa.
Walau sehari - harinya berkomunikasi dengan orang Jawa. Terpaksa mereka mengalah sehingga berkomunikasi denganku menggunakan bahasa Indonesia.
Saya pernah kena batunya, ketika akan mewawancarai tukang sapu di Kali Urang, Yogyakarta. Nara sumber yang yang akan saya wawancarai tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa berbahasa Jawa.
Waktu itu saya sedang menjalankan praktek belajar untuk membuat paket siaran televisi. Masih untung kameraman saya asal TVRI Palembang tapi kelahiran Solo bisa berbahasa Jawa, maka ia yang menjadi penterjemah. Ini sebagai bukti bahasa daerah masih sangat penting.
Untuk apa gengsi menggunakan bahasa daerah. Hilangnya bahasa daerah karena tidak lagi dipergunakan warganya, pertanda hilangnya sebagian peradapan dan lenyapnya sebagian kearifan lokal.
Mari kita tetap pergunakan bahasa daerah, untuk melestarikan bahasa ibu. Malu berbahasa daerah sama saja malu dengan ibu sendiri.
Salam dari pulau Bangka
Rustian Al Ansori