Korupsi, telah menjadi sesuatu yang sensitif dimasyarakat. Menunjukkan "kemarahan" masyarakat kepada pelaku korupsi. Begitu pula dengan reaksi masyarakat yang spontan mendukung bila mendengar adanya upaya untuk melemahkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ). Masyarakat lagi sensitif dengan korupsi.
Masyarakat telah satu kata bahwa korupsi adalah musuh bersama. Belum lagi beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota legeslatif (anggota DPR RI, DPRD dan DPD RI ). Kasus korupsi yang melibatkan anggota legeskatif telah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat. Â Trauma akan dirasakan masyarakat, bila bertemu lagi dengan calon anggota dewan yang pernah tersangkut korupsi. Sebenarnya calon legeslatif yang pernah tersangkut kasus korupsi, akan mendapatkan dampaknya tidak akan dipilih masyarakat di Pemilu Legeslatif.Â
Namun tingkat pemahaman masyarakat yang berbeda diantaranya dipengaruhi tingkat pendidikan, sehingga ada masyaraat yang mengabaikan latar belakang seorang calon legeslatif. Apa lagi sampai terjadi transaksional antara caleg mantan terpidana korupsi dengan masyarakat yang tergoda uang, beras, sarung dan lain - lain.
Menurut saya caleg mantan terpidana korupsi tidak semudah ketika ia belum korupsi bisa memenangkan Pemilu. Masyarakat kita sebagian besar sudah cerdas. Terbitnya Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota legeslatif. Diantara isinya melarang mantan teridana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legeslatif. Peraturan KPU itu menunjukkan adanya satu suara sebagian  besar masyarakat, terhadap caleg mantan terpina korupsi. Namun peraturan itu tidak satu suara dengan Bawaslu.
Bawaslu telah mengabulkan tuntutan M. Taufik Caleg dari DKI Jakarta, setelah tidak diloloskan KPU DKI Jakarta karena ia sebagai mantan terpidana korupsi. Membuktikan Bawaslu tidak mengakui Peraturan KPU yang melarang caleg mantan terpidana korupsi. Uji materi terhadap peraturan KPU itu masih harus ditunggu dari Mahkamah Agung.
Berarti kita masih harus menunggu keputusan MA. Masyarakat yang anti korupsi sudah pasti akan berdo'a agar MA membenarkan peraturan KPU itu. Dengan demikian caleg mantan terpidana korupsi tidak akan bisa mencalonkan diri sebagai calon anggota legeslatif. Maka Bawaslu akan dikalahkan. Uji materi terhadap peraturan KPU di MA itu adalah jalan terbaik agar tidak menimbulkan kecurigaan terhadap Bawaslu. Ditambah lagi dengan kasus dugaan mahar politik yang melibatkan bakal calon wakil Presiden Sandiaga Uno yang diungkap Andi Arief, politisi Partai Demokrat. Kasus itu tidak berlanjut hanya karena Andi Arief tidak memenuhi panggilan Bawaslu.
Peristiwa ini membuat saya ragu terhadap kerja Bawaslu ketika Pilleg dan Pilpres 2019, yang akan duduk manis di belakang meja. Hanya menunggu laporan saja dari masyarakat. Bukannya berupaya mengungkap sendiri bila terjadi pelanggaran Pemilu.
Perbedaan penapsiran antara KPU dan Bawaslu, terhadap peraturan melarang mantan terpina korupsi menimbul kecurigaan. Bisa saja Bawaslu  akan membantah beberapa keputusan lainnya ketika berlangsungnya Pileg dan Pilpres. Jangan sampai Bawaslu tidak menjadi pengawas namun menjadi batu sandungan bagi KPU dalam menyelenggarakan Pileg dan Pilpres. Mengawasi tidak mesti berbeda pendapat. Tetapi mengawasi dengan berdasarkan fakta, tidak memihak sehingga Pileg dan Pilpres berjalan langsung, umum, bebas dan rahasia. ( Rustian Al Ansori )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H