Lelang Jabatan, sebutan lain yang dipergunakan dalam seleksi jabatan tinggi ( eselon II dan I ) di pemerintahan. Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota sudah mulai memberlakukan lelang jabatan ini.
Undang Undang ( UU ) No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak menyebutkan istilah Lelang Jabatan, namun pada pasal 108, ayat (4) menyebutkan, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi. Sebutan lelang jabatan untuk seleksi terbuka jabatan pejabat tinggi di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota.
Kesannya sebutan lelang jabatan bagi orang awam dapat diartikan, sebagai upaya untuk mendapatkan jabatan dengan membeli menggunakan sejumlah uang dengan tawaran tertinggi. Ternyata ini kata lain dari seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi, yang mulanya istilah tersebut mencuat ketika seleksi jabatan awalnya dilakukan di Pemprov DKI Jakarta.Â
Mekanisme baru dalam upaya seorang ASN untuk menduduki jabatan sesuai regulasinya, pasal 108, ayat (3) bahwa, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini juga berlaku untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya, di tingkat nasional.
Di beberapa Pemerintah Daerah sudah melakukan pengisian jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara terbuka. Seleksi secara terbuka ini merupakan sesuatu yang baru sejak diberlakukannya UU ASN. Penerapan aturan ini ada yang lancar–lancar saja, tanpa ada riak–riak. Namun ada juga dalam proses lelang jabatan terjadi sempat menimbulkan reaksi, di antaranya di Pemda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ada pejabat yang masih menduduki jabatan dan jabatannya dilelang, sehingga adanya gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh ASN yang merasa dirugikan.
Seleksi terbuka untuk sebuah jabatan tinggi itu sampai-sampai masuk ranah hukum hingga gugatan ke PTUN. Peristiwa ini akan menjadi pertanyaan publik, sampai sejauh itu hingga melayangkan gugatan hukum. Publik punya kepentingan terhadap masalah ini, karena terkait efeknya terhadap pelayanan publik.Â
Bukan kalah atau menangnya dalam gugatan hukum terhadap kasus jabatan dilelang, namun citra pemerintah yang jadi taruhan. Pertanyaannya sudahkan lelang jabatan dilakukan secara terbuka, bagi ASN yang sudah memenuhi syarat dan berlangsung kompetitif? Kenyataannya setiap lelang jabatan yang dilakukan secara terbuka tidak banyak yang mendaftar, bahkan ada yang diperpanjang karena sedikitnya peserta.Â
Bisa jadi trauma lama masih mengganggu PNS yang belum lepas dari bayangan adanya campur tangan kekuatan politik dalam mengisi jabatan. Memang tidak mudah menghindari campur tangan poltik terhadap ASN. Hadirnya UU ASN dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik.
Jelas mereka yang menduduki jabatan politis seperti Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian dapat menegakkan aturan dengan memiliki pendirian yang kukuh tidak diintervensi pihak lain apa lagi pengaruh politik di luar ASN. Pejabat Pembina Kepegawaian yang disodorkan tiga calon pimpinan tinggi, akan menerima hasil seleksi dengan disertai nilai dan peringkat.
Ketika nama tiga calon pejabat pimpinan tinggi disertai nilai yang diperoleh juga diumumkan secara terbuka dan publik melihat, asumsinya tetap yang memiliki nilai tertinggi akan memenangkan seleksi. Demikian pula dengan namanya lelang, tetap tawaran tertinggi yang akan memenangkan lelang.
Ketika keputusan dari Pejabat Pembina Kepegawaian bukan nilai tertinggi maka harus dijelaskan kepada publik, bila tidak dijelaskan kepada publik akan menimbulkan kecurigaan. Di era keterbukaan informasi publik saat ini kejelasan dalam memberikan informasi kepada publik harus dilakukan secara transparan, agar tidak memunculkan persepsi yang beragam, terutama kecurigaan yang akan menurunkan kepercayaan publik.
Memang sangat berbeda bila pengumuman tiga calon pejabat tinggi hasil seleksi yang akan dipilih salah satu diantaranya oleh Pejabat Pembina Kepegawaian tidak mencantumkan nilai atau peringkat, tidak akan memunculkan persepsi macam–macam di rana publik.Â
Pejabat Pembina Kepegawaian akan lebih leluasa dalam memilih salah satu dari tiga calon pejabat pimpinan tinggi sesuai dengan pertimbangan dan penilaiannya, yang tidak akan memunculkan kecurigaan dari publik.
UU ASN mengatur, pada pasal 116, ayat (1) Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali pejabat pimpinan tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang– undangan dan tidak memenuhi lagi syarat jabatan yang ditentukan.
Regulasi untuk melindungi ASN dari politisasi sudah cukup kuat. Aturan perundang–undangan tidak akan kuat dan ASN tetap dipolitisasi, bila kepala daerahnya tidak memiliki komitmen untuk menjadikan ASN yang netral, professional dan bebas dari intervensi politik. Kepercayaan publik terhadap ASN/PNS itu penting, namun tanpa kepercayaan akan menjadi petaka bagi Pemerintah. Kepala Daerah yang Berani komit, berarti hebat.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H