Mohon tunggu...
RUSTAM HADI
RUSTAM HADI Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang ingin Selalu Belajar dan Belajar Selalu

Hobi Menulis, ada 6 buku dan beberapa artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Overview Satu Dasa Warsa Undang-undang Desa: Menu Empuk Kampanye Capres-cawapres

4 Januari 2024   05:35 Diperbarui: 4 Januari 2024   05:35 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-undang Desa adalah sebuah tonggak bersejarah bagi desa. Dua azas utama, rekognisi dan subsidiritas, merupakan paradigma khas dalam UU Desa, yang tidak dimiliki oleh undang-undang lain.

Kedua azas mengharuskan para pihak memandang secara berbeda terhadap desa, bahkan mengharuskan perubahan cara pandang, pendekatan, dan subjek atas pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan dari sisi desa.

Jika dulu pembangunan memandang desa, maka UU Desa mengharuskan perubahan menjadi desa memandang pembangunan. Disertai azas demokrasi dan gotong-royong, sekaligus redistribusi dana desa, rekognisi dan subsidiaritas hendak meneguhkan sikap negara mengakui, menghormati, melindungi dan memberdayakan desa menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis, sebagai landasan kokoh bagi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Pidato Ketua Pansus RUU Desa DPR RI pada Sidang Paripurna 18 Desember 2013, menegaskan spirit "catur sakti" UU Desa, yakni bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Ketika dirayakan dan disosialisasikan di banyak titik penjuru negeri pada tahun 2014, para pihak, baik pemangku desa, pegiat desa, hingga berbagai elemen masyarakat setempat menyambut kehadiran UU Desa dengan penuh antusias.

Masih segar dalam ingatan kita, Nawacita yang diusung oleh Bapak Joko Widodo dan Bapak M. Jusuf Kalla pada 2014, juga meneguhkan cita "membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa", yang disertai komitmen menjalankan UU Desa secara konsisten. Sejak 2014, UU Desa melahirkan perhatian masyarakat luas kepada desa. Para akademisi, aktivis, maupun mahasiswa mempelajari, meneliti, menulis, dan melayani desa.

Tidak sedikit generasi milenial kembali ke desa dan bekerja dalam desa yang bergelut-bergulat langsung dengan denyut kehidupan masyarakat desa. Demikian juga, UU Desa telah mendorong kaum milenial kota bekerja untuk desa, menyuntikkan teknologi untuk kemajuan desa.

Di ranah desa, UU Desa telah mendorong kehadiran sebagian kepala desa baru, apapun latar belakangnya, sebagai pemimpin rakyat progresif dan pemberani, yang membuahkan perubahan secara bermakna bagi desa. Kepala desa hari ini tidak hadir sebagai "penguasa tunggal" seperti dulu, karena telah tumbuh ruang baru lebih terbuka dan demokratis bagi masyarakat setempat untuk melakukan komunikasi, deliberasi, dan negosiasi kepada pemimpin mereka.

Sekalipun ada sejumlah 600-an kepala desa yang terjerat kasus korupsi, tetapi sebagian besar kepala desa begitu peka pada persoalan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat desa. Untuk duduk kembali setelah enam tahun menjabat, para kepala desa tentu tidak mau membeli suara rakyat dengan politik uang, melainkan dengan cara yang lebih bermakna dan bermatabat.

Di masa pandemi Covid-19 bukan hanya tenaga kesehatan yang hadir sebagai garda depan, tetapi desa juga hadir sebagai benteng depan bagi masyarakat setempat. Para kepala desa dan perangkat desa dengan tegak-lurus menjalankan seruan dan perintah Presiden Joko Widodo tentang "keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi". Mereka tidak mengenal work from home, melainkan bekerja setiap saat mengurus-melayani warga yang menjadi korban dan terdampak Covid-19. Ketahanan sosial dan solidaritas sosial, yang menjadi penanda khas desa, mengemuka di masa-masa sulit, baik untuk menolong sesama, berbagi sumberdaya maupun menjaga ketahanan hidup.

Selama sembilan tahun berjalan UU Desa telah membawa kemajuan desa. Kemajuan fisik bisa dilihat secara kasat mata, baik bukti langsung maupun bukti angka-angka statistik.

Namun di balik kemajuan dan spirit yang romantis pada UU Desa, tetap ada kegalauan dan pandangan kritis. Desa bisa maju tetapi tidak kuat. Para pihak kerap menyampaikan frasa "desa maju, mandiri, dan sejehtara" tetapi selalu mengabaikan frasa "desa kuat", kecuali Ibu Megawati Soekarnoputri yang sudah dua kali menyerukan "desa kuat, Indonesia berdaulat".

Kealfaan pada frasa "desa kuat" beriringan dengan reduksi dan distorsi pelaksanaan UU Desa. Reduksi dan distorsi paling utama adalah program dana desa yang diformalkan dengan PP No. 60/2014, padahal UU Desa tidak memberi delegasi pengaturan dana desa secara khusus dengan Peraturan Pemerintah.

Akibatnya, orang berbicara desa hanya berbicara dana desa, ketika orang berbicara dana desa maka hanya berbicara tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Program dana desa kehilangan roh UU Desa, yang digantikan dengan prioritas menteri, aturan, dan perangkat teknokratik, yang justru mengebiri kewenangan desa.

Desa harus melaksanakan program-program titipan dari atas ketimbang menghadirkan kepentingan masyarakat setempat (sosial, budaya, ekologi, agraria, dan ekonomi) sebagai basis kehidupan-penghidupan orang banyak.

Presiden Joko Widodo telah berulang kali menyerukan betapa pentingnya pengurangan laju urbanisasi, ruralisasi dan daya ungkit ekonomi desa. Tetapi tiga kata kunci seruan Presiden tidak menjadi kebijakan, wacana, dan gerakan yang bermakna, karena tenggelam oleh belanja dana desa beserta SDGs Desa.

Angka-angka statistik "desa mandiri" yang dipertunjukkan memang berguna untuk membentuk kesan pertama, tetapi ingat bahwa angka tidak mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya.

Demikian juga, banyak kritik ditujukan terhadap pendamping desa yang sudah keluar dari spirit awal, yang bukan melayani desa secara seksama dan bermakna, kecuali hanya bekerja menghimpun data statistik.

Kegalauan dan sikap kritis itulah yang menggerakkan para kepala desa dan asosiasi desa menggelar unjuk rasa di Senayan 17 Januari 2023.

Di balik tendangan politik masa jabatan sembilan tahun untuk kepala desa, mereka menyerukan "kembalikan kedaulatan desa untuk kesejahteraan rakyat".

Melanjutkan gerakan 17 Januari, tiga asosiasi (Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, Pesatuan Perangkat Desa Indonesia, Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional) telah menggelar simposium desa 2023 pada 19 Februari 2023, sekaligus merayakan sembilan tahun UU Desa pada 19 Maret 2023.

Dengan spirit dan tagline "Desa Bersatu Membangun Indonesia", gerakan dan pertemuan agung pada hari itu hendak menjaga momentum agar selalu hangat bertenaga, memanggil kembali spirit UU desa yang telah hilang, sekaligus menyerukan bahwa desa bukanlah batu loncatan dan batu sandungan bagi negara, melainkan desa sebagai batu landasan dan batu penjuru bagi negara.

Pada hari itu juga kita serukan bahwa desa adalah peradaban masa depan bagi anak cucu kita. Kita panggil kembali spirit "desa kuat" yang diamanatkan oleh UU Desa maupun diserukan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri.

Ingat bahwa desa  "cerak watu, adoh ratu" atau "dekat dengan batu, jauh dari ratu". Batu adalah simbol kekuatan desa, ratu adalah simbol kekuasaan negara. Kita bangun kekuasaan negara yang berlandaskan pada kekuatan desa untuk membentuk kejayaan Indonesia.

Kita harus hadirkan pula tiga kata kunci yang diserukan Presiden Joko Widodo, yakni deurbanisasi, ruralisasi, dan daya ungkit ekonomi desa" sebagai jalan untuk merajut entitas desa sebagai ruang-basis kehidupan dan penghidupan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun