Mohon tunggu...
Rustam E. Simamora
Rustam E. Simamora Mohon Tunggu... lainnya -

~=*=~

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana: Member-sahabatkan, Berbagi dan Meninggalkan Warisan

14 Juni 2012   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:01 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadinya tidak begitu tertarik untuk menulis artikel bertemakan ‘ulang tahun’ di kompasiana ini, karena pasti akan sangat subjektif. Tapi aku rasa subjektif itu tidaklah selalu salah. Antara subjektif dan objektif bahkan bisa duduk berdampingan. Dan bisa sangat baik pada kondisi terbaik mereka. Aku pun menulis artikel ini sebagai refleksi dan momen untuk berterima kasih kepada Kompasiana dan Kompasianer dan juga para pembaca.

Menjadi Kompasianer

Setelah menamatkan kuliah di Medan, aku kembali ke kampung halaman, dan bekerja sebagai guru di SMP pada bulan Juli 2011. Di sini tidak ada warnet yang dekat, jadinya aku membeli modem. Pada bulan Pebruari, aku browsing untuk mengetahui info tentang Kolonel Simbolon yang dikenal sebagai ‘pemberontak’. Kemudian, tiba di kompasiana. Tertarik dengan sebuah postingan. (Aku lupa pula, kompasianer mana yang menulis). Tergerak untuk memberikan komentar. Ternyata harus daftar dulu baru bisa memberikan komentar. Segeralah kuisi kolom-kolom registrasi. Heran juga saya. Muncul kotak dialog bahwa aku sudah punya akun di Kompasiana. Aku ingat-ingat, ternyata sudah pernah mendaftar sebelumnya ketika berhenti langganan surat kabar cetak Kompas ketika masih di Medan. Dan password-nya juga sudah terlupa. Tapi, berita baiknya, password bisa diusahakan kembali. Password dikirim ke email. Terhitung mulai tanggal 14 Juni 2011, aku sudah terdaftar sebagai kompasianer. Tanggal inilah yang saya rayakan sebagai ‘ulang tahun’ di kompasiana.

Segeralah kupelajari aturan main di group ini. Kemudian, artikel lama yang pernah kukirim ke suatu media, tapi tidak dimuat, kuposting sebagai artikel perdana.(Tanggal 17 Maret 2012). Mulai tanggal inilah saya aktif ). Masuk ke kolom highlight. Bingung juga apa itu highlight. Tapi tampaknya pertanda baik. (hehehe…). Kemudian aturan lebih lanjut kupelajari di Term of Use.

Sekarang, artikelnya baru ada 32 postingan. Tulisanku jarang terekomendasi, apalagi HL! Masing-masing hanya sekali saja. (hahaha…). Tidak seperti Pak Armand yang katanya tidak menulis karena takut HL. Tentu saja beliau sekadar bergurau. (hahahahaha…) Tapi entahlah. Tulisan-tulisanku, palinglah bertengger di highlight atau kolom inspiratif. Tapi itu pun, aku sudah berterima kasih buat admin kompasiana!

Aku mulai aktif menulis, palinglah satu bulan terakhir ini. Atau bahkan dua-tiga minggu terakhir. Tadinya, lebih tertarik menulis dengan tema Filsafat dan Cermin. Ternyata banyak hal di bidang Edukasi atau Social Budaya yang aku rasa bermanfaat untuk di-sharing-kan. Bahkan lebih tepatnya menulis di kolom ini --mengingat latar belakang profesi dan pendidikan.Kemudian asyik juga menulis dengan tema hiburan.

Mengapa saya Menulis?

Alasan saya untuk menulis sangat banyak. Mulai dari alasan sederhana, nyantai, sampai alasan yang tampak lebay. Inilah tampaknya alasan saya menulis:

Bersenang-senang dan membuat ‘senang’, tepatnya memberikan kegembiraan. Iya, aku menulis, kadang bahkan untuk sekedar bersenang-senang semata. Hal ini biasanya saya tuangkan pada tab Humor. (Walaupun memang, ada juga hal positif lainnya kalau digali lebih dalam).

Sekedar menginformasikan. Saya menulis untuk menginformasikan semata. Biasanya saya sajikan dalam bentuk reportase. Untuk berbagi dengan pembaca sesuai dengan ‘visi’ kompasiana – Sharing and Connecting. Berharap memberikan manfaat pada para pembaca.

Alasan ego. Ego yang masih bolehlah ditolerir. Untuk aktualisasi diri seperti kata psikolog.

Untuk mengurangi beban. Saya merasa, bahwa suatu tekanan psikologis, bila dituliskan, akan relative berkurang.

Sarana latihan berpikir. Melalui tulisan, kita dapat melatih berpikir. Menulis itu berpikir. Dengan (berlatih) menulis, kita juga berlatih berpikir. Menulis juga mengajak kita ke dalam kesadaran kedirian kita. Kita lebih mengenal diri kita. Bahkan bisa menyelami palung pikiran, menyingkap relung hati dan menelisik bagian jiwa kita yang terdalam.

Iniah barangkali menjadi alasan yang lebay itu. Berharap mencerahkan! Tulisan-tulisan saya yang bertemakan Edukasi, Filsafat dan Cermin, saya harap bisa memberikan pencerahan kepada pembacanya, karena gagasan itu sudah lebih dulu menggugah saya. Hanya dengan tergugahlah, maka kita dapat menggugah sesama kita. Saya merasa tercerahkan dengan suatu gagasan yang datang melalui buku, lagu, alam, atau bahkan bisa datang begitu saja. Kemudian saya tuangkan dengan tulisan. (Tentu saja bagi pembaca yang sudah lebih dulu mendapatkan atau mengalaminya menganggap biasa saja. Khususnya para senior). Kalau hidup saya tak bisa menjadi pesan yang hidup, paling tidak tulisan saya. Dan tulisan yang hidup itu bahkan bisa diwariskan ke generasi-generasi selanjutnya. Kompasiana juga warisan kita.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. … Menulis adalah bekerja untuk keabadian”

Pramoedya Ananta Tour – Rumah Kaca, Pg. 473

Bagaimana Saya Menulis?

Saya tidak ada aturan khusus untuk menulis. Iya menulis saja. Dan saya pun tidak yakin para penulis besar mengikuti aturan baku dalam menulis. Tapi tidak bisa saya pungkiri bahwa ‘nasihat’ guru bahasa Indonesiaku pas SMP dan jarang menulis itu, ada juga yang saya gunakan. Semua pengetahuan menulis itu baik. Tapi baru baik apabila digunakan dengan baik. Seperti ketika seseorang yang belajar main gitar atau piano. Pertama sekali belajar secara terpola mengenal dan memindahkan chord-chord. Kemudian belajar dan memainkan lagu sederhana dengan tiga atau empat varian chord. Ketika semakin menguasai alat music itu, maka dia akan meninggalkan pola itu. Bahkan menciptakan sendiri polanya. Apalagi kalau seseorang tadi mejadi maestro jazz. Sering sekali pola yang dia ciptakan malah nyeleneh, tak umum, tapi tetap indah, karena kalaupun ada yang tidak teratur, ketidakberaturan itu bisa diolah dengan apik. Aku rasa, hal ini juga berlaku pada menulis. Bahkan dalam banyak hal dalam hidup ini.

Saya akan menulis ketika dapat ide. Ketika saya merasakan kata-kata itu, kemudian saya menulisnya. Pertama sekali, aku menulis yang aku rasakan. Kemudian aku memikirkannya kembali. Film Finding Forrester juga ‘mengajarkan’ ini.

Ketika saya menulis, Kadang irama menulis itu datang setelah beberapa paragraph. Dan sangat menyenangkan apabila sudah di paragraph terakhir. Kuncinya terletak pada gagasan atau ide. Bisa lahir dari pengamatan, tapi bisa juga datang begitu saja. Ide itu bahkan seperti belut. Kalau tidak cakap menangkapnya, bisa lepas dan hilang menyelinap entah kemana. Waktu terbaik menulis bagi saya ketika turun hujan. Waktu di kamar mandi. Tampaknya gemerisik atau guyuran air yang mengalunkan music alami yang harmonis begitu menginspirasi bagi saya. Tapi yang jelas, kalau menulis pastilah harus membaca. Wawasan akan menolong kita memilih kata dengan tepat. Mengembangkan ide dengan baik dan bahkan menolong kita mendapat ide lain yang brilian secara tak terduga.

Menurutku, menulis itu juga seperti menyiram. Kita siram beberapa idea atau satu ide saja dengan beberapa penyampaian, atau variaan kalimat. Ini akan meningkatkan peluang pesan kita sampai kepada si penerima.

Aku juga tetap memegang ‘ajaran konvensional’ dalam menulis. Seperti berusaha menulis dengan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berusaha untuk tidak terjebak kepada pemakaian istilah-istilah yang membingungkan yang terkesan akademis untuk gagah-gagahan. Kecuali menurut saya istilah itu harus dengan kata itu supaya lebih bermakna (lebih dalam atau lebih kena di hati).

‘Filosofi’ Biografi Info

Rindu dunia yang lebih baik. Pernyataan nan sederhana ini begitu berarti bagi saya. Kalimat sederhana ini dapat berarti sebagai cita-cita, impian yang di dalamnya tersimpan idealism. Pernyataan ini seperti cakrawala. Cakrawala itu tidak lagi cakrawala ketika kita sampai di sana. Ketika kita tiba di batas pandangan kita sebelumnya, maka batas pandangan itu tadi bukan lagi batas pandang. Tapi menjadi tempat kita berpijak, dengan menghadap batas pandangan yang baru. Demikian seterusnya. Lebih baik, lebih baik dan lebih baik akan menuju ke kesempurnaan, walaupun memang tak seorang pun yang tahu bahwa dunia apakah akan sempurna pada akhirnya. Dan di sini jugalah paradoks itu. Kita tahu apa yang baik, tapi kita juga melakukan yang tidak baik di samping yang baik. Kita mengatahui konsep cinta-kasih, tapi kita juga membenci.

Kalau ditelaah secara filsafati, tampaknya impian itu absurd. Tidak masuk akal. Sudah terbukti dari sejarah. Renaisans di Eropa diharapkan menjadi titik balik. Tapi apakah hadir kemajuan moral atau peradaban yang luar biasa? Aku rasa tidak. Tapi apa salahnya berharap. Bahkan harapan itu menjadi energy positif paling tidak bagi orang yang meyakininya.

Tampaknya masuk akal juga, bahwa dunia ini bukan satu-satunya dunia. Ada Sesuatu Yang Lain di luar sana. Kehidupan, yang kalau untuk ke sana, melalui dunia ini seperti yang diyakini banyak orang. Tapi ada juga yang meyakini, bahwa suatu saat, bahwa dunia ini yang akan diperbaharui dengan campur tangan Yang Transendental. Atau ada juga yang meyakini, perpaduan yang apik dan gaib antara keduanya. Akh.. entahlah… terlalu banyak saya mengkhayal yang lain-lain untuk momen ini.

Tapi, demikianlah keyakinan, harapan dan cinta kasih akan bersemayam tinggal di hati orang yang (belajar) menghidupi hidup yang lebih baik.

Kendala

Saya sebenarnya sangat suka kalau tulisan itu dihiasi gambar atau ilustrasi. Apalagi saya tipe pembelajar Audiotorial-Visual. Sayangnya koneksi internet di sini, sangat buruk. Reportase bahkan yang bagusnya dilengkapi gambar tak saya buat. Karena akan sangat payah nantinya untuk posting dan akses kembali tulisan tersebut.

Aku baru bisa ngompasiana dengan lumayan baik menjelang dan lewat tengah malam. Begadang dech jadinya, (hahahahaha…). Kalau kesempatan lainnya, loading lambat minta ampun. Seperti bekicot. Atau bahkan, tak bisa ngakses internet sama sekali.

Ucapan Terima kasih kepada Kompasiana

Pada kesempatan ini, kembali, saya menyampaikan terima kasih buat kompasiana. Kompasiana telah menjadi bagian yang penting bagi saya untuk memberi dan menerima. Masing-masing kita memiliki kasih untuk memberi, sebagai cerminan karakter Pencipta kita, Sang Pemberi Agung. Barangkali, teman kompasianer lebih suka dengan kata aktualisasi diri. Atau sekedar menyalurkan hobby dan bersenang-senang.

Kemudian di group ini juga kita semua menerima. Kita menerima informasi yang bermanfaat dengan nyaris gratis kalau saja tidak kena tarif pulsa modem. Tapi aku kira, banyaknya pulsa yang tersedot tidak seberapa dibanding limpahan informasi penting, bermanfaat, dan/atau aktual. Kita tertawa bersama dengan postingan di humor, yang walau kadang gurauan yang cerdas atau satiris, mau juga terkesan binal. (Hehehe…). Kita juga menerima pesan-pesan kehidupan melalui artikel-artikel inspiratif.

Kita memberi dan menerima banyak hal. Kita memberi dan menerima persahabatan.

Ucapan Terima Kasih kepada Kompasianer

Aku berterimakasih kepada seluruh kompasianer yang bergabung di kompasiana. Baik yang aktif, setengah aktif ataupun yang ‘kabur’ setelah mengirim postingan. (hehehe … ).

Untuk ini, izinkanlah saya berterima kasih kepada kompasianer yang menurut saya demikian berpengaruh kepada pemikiran dan gaya menulis saya dibandingkan kompasianer lainnya. Ada Pak Katedrarajawen, Pak Muhammad Armand, Pak Bain Saptaman, Pak Yusuf, Lae Flores Marsudi, Pak Tante Paku, Mbak Leil Fataya, Lae Andy Naburuju (yang tak pernah lagi buat postingan), Lae Fajar, kemudian teman pertama saya, Mas D. Febrian yang entah dimana dia sekarang. (Miss you, bro!), Johan Wahyudi, Bu Arhida, Ariyani Na (Terima kasih sudah inbox-i saya, hehehe…), Ito Emmanuelly Keisa dan lae Suryono. Dan mungkin masih ada kompasianer yang juga tulisannya demikian berpengaruh bagi saya, tapi kelupaan. Atau bisa juga, belum begitu dekat.

Kemudian saya juga berterima kasih secara khusus buat teman-teman kompasianer lainnya. Pertama buat teman-teman yang ada di kolom pertemanan saya -- tak perlulah kiranya saya tulis satu-persatu, (hehehe…). Ada seratus tiga puluh lima (135) teman.

Ucapan Terima Kasih kepada Pembaca atau Pengunjung

Saya juga berterima kasih kepada segenap pengunjung yang datang untuk mencari informasi, bertandang, sekedar jalan-jalan atau bisa juga karena nyasar. (hehehe…). Selamat menikmati tulisan dengan beragam informasi dan beragam gaya menulis.

-- Semua kebaikan kita hanya berkas-berkas kebaikan Yang Mahabaik --

Salam Persahabatan, 14 Juni 2012

R.E.S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun