Lihat Bundamu,
T’lah bungkuk tanpa sepuh
‘tuk hanya sedia butuhmu
(Reff.)
Ayahanda bukanlah orang berpunya
Tak jua miliki cukup warisan
Jangan biar terbuang percuma
semua jerih payah ini
Oh, ananda…
Berselimut embun, dipanggang terik
berguyur hujan kami ananda..
di sawah itu.....
Hanya untuk bisa, menyekolahkanmu
Ananda, kekasihku
dengarkan pintaku
jangan biar lelahku percuma.
(terjemahan bebas, silahkan memperhatikan endnote).
Walau agak sedikit was-was -- hasilnya tidak memuaskan bagi orang Batak yang telah demikian menjiwai lirik lagu tersebut -- saya sudah berusaha menerjemahkan dan berusaha menuangkan dalam bentuk syair.
*****
Saya bukan sedang menunjukkan betapa berbudinya saya kepada orang tuaku. Saya hanya orang yang imajinasinya kadang begitu liar. Antara budi dan imajinasi; ketaatanku kepada kebaikan, apalagi kebenaran, sangat jauh berkilo-kilo kilometer dengan watakku. Saya hanya ingin berbagi kepada para pembaca, betapa lagu ini mampu untuk mengingatkan dan menggugahku ketika kuliah dulu.
*****
Para Petani Bersemangat!
Keadaan social budaya masyarakat Batak, tidak begitu jauh berbeda dengan isi lagu tersebut, seperti di kampung halamanku ini. Di tempat saya ini, tidak susah menemukan orang tua yang hanya dengan bertani, sanggup menguliahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Petani di sini bukan petani seperti di Kabanjahe, Berastagi atau Saribu Dolok. Umumnya, penghasilan petani, kalau dirata-ratakan, rasa-rasanya tidak sampai dua jutaan perbulan. Tidak seperti di daerah yang saya sebutkan tadi. Lahan penduduk di sini umumnya tidak lebih dari dua-tiga hektaran. Jadi dalam hal becocok tanam, hampir tidak bisa menemukan penduduk yang mengusahakan tanaman sayuran seperti cabai, tomat, dan kentang, dengan area satu hektar lebih. Setengah hektar saja jarang. Karena factor lahan dan modal.
Tanaman sayuran biasanya ditanam di lahan basah, sawah. Kemudian untuk lahan kering, biasanya menanam kopi. Menanam dan merawat kopi tidak sesulit dan semahal mengelola tanaman muda. Lahan luas, biasanya lahan kering, ditanam kopi saja.
Keadaan ekonomi seperti itu tidak menyurutkan semangat penduduk untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi.
Sebutlah namanya Pak Purba. Pak Purba memiliki anak tujuh orang. Dua di antaranya laki-laki. Yang paling bungsu masih duduk di bangku SMA.Anak pertama, kedua, dan anak ketiga sudah sarjana dan bekerja. Tiga orang sedang kuliah.
Bagaimana Bisa?
Orang tua bekerja keras banting tulang untuk menguliahkan anak pertama dan kedua. Gali lobang tutup lobang sudah biasa. Atau kadang jual sawah apabila terdesak. Anak juga pilih perguruan yang berbiaya murah. Dan mengusahakan beasiswa dan bekerja sambilan. Keluarga hidup sederhana. Anak yang sudah bekerja ikut menopang dana bagi saudaranya.
Potret keluarga seperti ini, tidak sulit menemukannya. Sayangnya, orang tua yang berusaha keras menyekolahkan anaknya makin menurun secara perlahan, menurut penuturan Ayah saya yang juga petani. Tampaknya memang demikian. Sebagian orang tua mengatakan, “untuk apa sekolah tinggi-tinggi, tohnya jadi pengangguran?”; “Semua faktor nasib! Kalau sudah saatnya sukses, tak ada pun sekolahnya, suksesnya itu”.
Kembali ke Lagu
Lagu ini kini mengingatkan adik saya yang sedang kuliah. Semester depan dia akan kuliah. Butuh banyak dana untuk sewa rumah kos, uang kuliah, bulanan, biaya beli kanvas dan perlengkapan lukis, dan sewa rumah untuk posko mereka kelak. Bapak sudah mulai risau. Abangnya yang juga kompasianer ini (hehehe…), sekalipun sudah bekerja, belum bisa banyak membantu. Bekerja sebagi guru honor komite, dengan ke ladang di kala sore. Menjadi petani juga tetapi tidak cakap. Lebih memikirkan baca-tulis pula daripada mencangkul. Tapi karya tulisnya tidak pernah dimuat. (Hihihi…).
Saya juga teringat kepada teman satu kampungku waktu di Medan, B. Jurusan teknik mesin. Sampai sekarang belum tamat. Dan juga kepada, D, abang stambuk waktu SMA. Semester depan baru seminar. Mereka stambuk 05. Orang tua B seperti isi lagu. Sedangkan D, Ayahnya guru dan ibunya, ibu rumah tangga biasa. Juga seperti isi lagu, walaupun kondisi ekonominya sedikit lebih baik. Mereka sibuk pacaran bukan sibuk berorganisasi. Tekun jalan-jalan, bukan tekun belajar. Mereka kebanyakan ke kedai tuak, nyanyi dan bersenang-senang. Menjadi ironi kalau mereka menyanyikan lagu ini! Bahkan terkesan ‘mengolok’ orang tua-nya!
Apakah anak sekolahan, khususnya anak kuliah, masih akan happy-happy dengan pinta orang tua seperti lagu ‘Anakhon hu?’
Pencipta lagu: Dakka Hutagalung.
Anakku
Anakku, sayang
baik-baiklah sekolahburju jangan sampaisiai-sia jerih payahku
Lihat Ibumu Bereng
Yang sudah bungkuk belum pun tua
hanya untuk membutuhimu, adinda (Dalam bahasa amang bisa berarti Bapak tapi bisa juga Nak atau adinda sebagai ungkapan kasih sayang)