Mohon tunggu...
Russell Darren Wilaysono
Russell Darren Wilaysono Mohon Tunggu... Editor - Murid

saya adalah orang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mobil Listrik, Solusi?

8 November 2024   20:25 Diperbarui: 8 November 2024   21:53 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tren Mobil Listrik yang "Out of the Blue"?


Di kota metropolitan Jakarta, sudah tak asing melihat mobil listrik. Setiap saat berada di tengah kesibukan jalanan, selalu muncul nama "IONIQ 5" keluaran Hyundai. Nama ini menjadi sensasi di antara warga Jakarta yang ingin ikut dalam tren mobil listrik. Sejak 1800an, mobil listrik sudah menjadi penemuan yang jauh dari zamannya. Walaupun tidak terlihat perkembangan signifikan, awal tahun 2010 menjadi puncak dari kehebatannya. Dengan teknologi di luar ekspektasi dan terus mengkagetkan publik, mobil listrik menjadi pusat perhatian rakyat, dari masyarakat sampai investor ternama. 

Dipuji untuk pengeluaran CO2 yang rendah, mobil listrik seakan-akan menjadi "kunci" dari masa depan yang lebih cerah. Namun, dibalik janji manis tersebut, mobil listrik bahkan merusak lingkungan kita, menjatuhkan lebih dalam dibanding masalah awal. Sampah baterai lithium dari limbah mobil listrik meracuni tanah air tercinta kita. Baterai lithium dapat merusak lingkungan terutama melalui proses penambangan dan pembuangannya. 


Masalah Mobil Listrik

Penambangan lithium membutuhkan banyak air, yang dapat menguras sumber air lokal dan mengganggu ekosistem di sekitar tambang. Selain itu, limbah kimia yang dihasilkan bisa mencemari tanah dan air. Saat baterai dibuang, komponen berbahaya seperti logam berat dan bahan kimia dapat meresap ke dalam tanah, mencemari lingkungan dan membahayakan organisme hidup. Jika tidak didaur ulang dengan baik, baterai lithium dapat menjadi sumber polusi jangka panjang bagi lingkungan. Ditambah biaya produksi yang tidak sepele, tentu siapa yang tidak skeptis terhadap produk ini. 

Mobil listrik tentu berkasus khusus jika dibandingkan kendaraan "tua". Mereka menggunakan baterai yang menyimpan energi listrik. Baterai lithium, terlebihnya, memiliki daya penyimpanan yang tinggi ditambah volume yang sangat ringkas. Namun, baterai tersebut harus dibuang tiap 10 tahun kira kira. Setiap kali diisi, daya serap mereka gugur. Jika hal ini berlanjut, jumlah sampah yang menumpuk akan lebih tinggi dari gunung Bromo.

Ide dari sebuah kendaraan adalah suatu yang tahan lama dan berfungsi untuk membantu memindahkan orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Durabilitas adalah kunci penting dari sebuah kendaraan. Konsep ini dibutuhkan, tidak seperti HP terinspirasi buah. Tentu, mobil tradisional membutuhkan servis dari sini ke sana setiap sekian lama, tetapi mereka dapat tahan berpuluh-puluh tahun termasuk cuaca ekstrim. 

Selain demikian, mobil bahan bakar jauh lebih nyaman di mata rakyat. Teknologi mobil berbahan bakar sudah dikenal luas, jadi banyak orang lebih nyaman dan paham dalam mengoperasikan serta merawat mobil berbahan bakar dibandingkan mobil listrik.


Cahaya Dibelakang Mobil Listrik

Dasar ide dari pengembangan mobil listrik bukanlah suatu yang buruk. Keinginan untuk memajukan perkembangan teknologi dengan alasan memperbaiki Bumi tercinta kita adalah hal mulia. Jika dibandingkan dengan mobil saat awalnya, atau bahkan kendaraan apapun, mobil listrik menghasilkan karbon emisi paling minim, dan itupun bukan karena mobilnya sendiri. Mereka mengeluarkan 50-70% CO2 lebih sedikit.

Sarana untuk memudahkan kehidupan manusia tidak butuh memiliki sisi negatifnya. Dapat saja kita membuat suatu yang hanya bersifat positif. Kepintaran umat manusia tidak bisa diremehkan. Sama dengan dulu lemari es, yang menipis atmosfer, akhirnya diubah menjadi sekarang yang jauh ramah lingkungan. Mobil listrik juga dapat diubah sedemikian rupa agar bisa mengikuti gambaran awalnya.


Bagaimana Ke Depannya?

Saat ini dominan investasi pada bidang otomotif lebih merujuk pada mobil BBM. Nyatanya Jerman menghentikan investasi pada EV sampai tahun berikutnya. Sifat ekonomi yang bergantung dengan bahan bakar fosil menghilangkan opsi untuk mulai menggeser ke pandangan baru. Sifat kapitalis yang hadir pada dunia ini menghambat penyembuhan pertiwi. Dengan usaha lebih untuk membenarkan kesalahan dari mobil listrik, tidak mustahil untuk membentuk perubahan. 

Aksi pemerintah juga menjadi variabel penting terhadap kesuksesan proses. Contoh seperti kebijakan meningkatkan tempat charge mobil listrik dapat membantu meningkatkan minat beli mobil listrik. Salah satu pertimbangan investasi mobil listrik ditemukan dalam minat beli rakyat. 

Tentu masuk akal mengapa mobil listrik sangat dihindari oleh rakyat. Mobil wuling menjadi mobil pasaran di Indonesia. Harganya yang segitu bisa digunakan untuk membeli mobil lain dengan kualitas jauh melewati wuling, contohnya merek Hyundai. Serta juga karena tempat pengisian listrik hanya tersedia di kota-kota berkembang, tidak mungkin orang dari pedesaan akan lebih memilih mobil listrik dibanding truk angkut untuk pertanian atau lainnya. Balik lagi bagaimana pemerintah beraksi akan menjadi penentu nasib mobil listrik.

Sekarang, menurut kalian, apakah mobil listrik akan menjadi standar masa depan, atau menjadi sebuah harapan yang menghilang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun