Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

1. Rusman: Denting Pedang di Pantai Tuban (d)

3 Juni 2019   12:45 Diperbarui: 4 Juni 2019   12:19 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski begitu sesaat ia menjawab juga dengan suara gemetar.

"Kepicikanmu adalah kau tidak dapat membedakan sikapmu dan sikapku. Aku mencintainya, aku mengambilnya dengan cita-cita untuk hidup bersamanya. Aku ingin membina keluarga yang aku junjung tinggi. Mungkin aku termasuk seorang yang buas dalam pertempuran. Aku sering membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku menghormati kaidah yang tinggi di dalam hubungan kekeluargaan."

Pemuda itu tertawa lagi.

"Aku tidak melihat bedanya. Kau juga tidak menghormati perasaannya, bukankah kau telah memaksa. Kau berbicara tentang cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang perasaan dia. Nah, di manakah bedanya?"

Sekarang kemarahan Sri Aji benar-benar telah sampai ke puncaknya. Ia benar-benar merasa terhina.

Namun justru karena itu sekali lagi ia terbungkam. Hanya ujung pedangnya sajalah yang bergetar semakin cepat.

"Nah apa katamu?" berkata pemuda berkumis itu. "Kalau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi jangan halangi aku menangkap adikmu. Aku sudah terlanjur mulai, apakah justru kau akan bersedia membantu kami untuk menangkapnya?"

"Cukup, cukuup!" suara itu benar-benar mengejutkan. Bukan suara Sri Aji, karena mulut Sri Aji justru terkunci oleh kemarahan yang menyumbat dadanya.

Saat mereka berpaling maka mereka melihat Ki Palang Sisir sedang meloncat turun dari kudanya. Wajahnya merah padam.

Digenggamnya tongkatnya erat-erat dan terdengar suaranya bergetar, "Gadis itu adalah keponakanku karena aku adik mendiang Ki Sumbu Karang. Marilah kita bertempur, aku yakin kalian sebentar lagi akan menjadi bangkai."

Bersambung ke link berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun