Memang sejauh ini dalam berbagai diskusi kecil tentang isi Serat Tripama banyak kita temui rasa penasaran.Â
Selalu menjadi pertanyaan, mengapa tiga priyagung itu yang menjadi personifikasi dari nilai keutamaan?
Bukankah puluhan atau bahkan ratusan ksatriya tidak kalah keluhuran budinya dibandingkan dengan Sumantri, Kumbokarna maupun Suryaputra?
Mengapa bukan Pandawa yang sudah kondang kaloka sebagai sinatriya utama?
Puntadewa misalnya yang tidak satupun orang menyamai kejujurannya, Bima yang terkenal kuat kepribadiannya, atau mungkin Arjuna yang jagonya para dewa?
Yang tahu jawabannya tentu Sri Mangkunegara IV sendiri sebagai penulisnya.
Namun demikian sebagai pembaca kitapun diwenangkan untuk menanggapi, mencerna dan mengambil hikmahnya.Â
Karena itu ada beberapa hasil kajian yang ingin penulis kemukakan dalam kesempatan ini:
1. Melalui Serat Tripama Kanjeng Sri Mangkunegara IV ingin menitipkan pesan kepada kita bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna.
Ketiga ksatriya yang dipilih adalah para tokoh yang relatif berimbang antara sisi baik dan buruknya. Mereka adalah figur yang mewakili jamannya masing-masing. Patih Suwanda mewakili jaman sebelum Ramayana.Â
Raden Kumbakarna mewakili jaman Ramayana, dan Raden Karna mewakili jaman Mahabarata.
Tetapi dalam konteks sikap "bawa leksana" ketiganya patut menjadi contoh terutama bagi para prajurit. Mereka rela gugur bersimbah darah sebagai seorang ksatriya sejati.
2. Para Pandawa sebagai ksatriya utama tentu juga tidak kalah pamornya untuk bisa menjadi contoh dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan.
Namun mereka sudah terlanjur ter-stikma sebagai figur panutan. Tentu tidak harus selalu Pandawa kan?Â
Orang tidak akan heran lagi jika misalnya Bima atau Arjuna yang ditampilkan dalam kisah ini. Lagi pula mereka tidak gugur di tengah peperangan.
3. Makna kisah Tripama ini terutama dimaksudkan untuk menggugah jiwa "keprajuritan", atau jiwa "korsa" untuk istilah tentara kita.Â
Namun konteks prajurit harus dimaknai secara luas. Prajurit bisa berarti pula para pegawai, karyawan, petani, bahkan pedagang. Mereka ini adalah para ksatriya di bidangnya masing-masing.
4. Menurut hasil kajian penulis kelompok "pemuka agama" bukanlah termasuk yang dituju oleh Serat Tripama.
Mereka adalah figur yang berada di atas para ksatriya yang tentu memiliki kriteria tersendiri.Â
Itulah sebabnya dalam serat ini Sri Mangkunegara IV sengaja tidak menyinggung Sang Dewa Brata atau Begawan Bisma.
5. Berdasarkan analisa penulis sikap "bawa leksana" yang ditunjukkan Bisma jauh melebihi ketiga ksatriya itu.Â
Mulai dari kerelaannya melepas singgasana Astina, sumpah wadatnya, keikutsertaannya dalam sayembara demi kebahagiaan adiknya, dan tentu masih banyak lagi sisi kehidupan Bisma yang patut menjadi suri tauladan kita semua.Â
Namun karena Bisma yang berusia panjang itu sudah bertekad untuk mengabdi sebagai seorang resi maka dia bukanlah tergolong prajurit sebagaimana yang dimaksud oleh Serat Tripama.
Demikian sedikit ulasan tentang Serat Tripama hasil guratan Sri Mangkunegara IV dari Keraton Surakarta. Semoga bermanfaat.***
SELESAI.
Tasikmadu, 120419