Anda tahu Dewi Gendari? Ia adalah kakak perempuan Sengkuni alias ibunya para Kurawa. Sama dengan adiknya, Dewi Gendari orangnya licik, akalnya banyak.Â
Kreatif memang tapi di dalam hatinya selalu dipenuhi dengan rasa dendam, rasa iri dan dengki.Â
Akibatnya hidupnya sering apes (sial) karena langkah-langkahnya tidak direstui oleh Allah SWT.
Syahdan, suatu hari di negeri Astina akan diadakan upacara ngunduh mantu oleh Sang Raja, yaitu Prabu Kresna Dwipayana.
Cara yang digunakan sangat unik, yaitu semua calon menantu yang terdiri tiga gadis boyongan yang didapatkan oleh Pangeran Pandu diminta berdiri berjajar.
Mereka adalah Dewi Kunti, Dewi Madrim dan Dewi Gendari. Lalu Raden Drestarasta kakaknya Pandu dipersilahkan memilih lebih dulu mana yang dikehendaki.
Konon Sengkuni yang licik segera usul kepada kakaknya agar nanti saat upacara Dewi Gendari mengenakan pakaian yang compang camping dan kain penutup mata.
Sengkuni memperkirakan nanti Raden Drestarasta yang buta itu akan memilih dengan cara "nggrayang" lebih dulu (meraba-raba) tubuh ketiga gadis itu.
"Kalau kakang mbok memakai baju yang lusuh compang camping dan berpura-pura menutup mata seperti orang buta, maka aku yakin kakang mbok tidak akan dipilih oleh si anak raja yang buta itu, "kata Sengkuni kepada kakaknya "jangan lupa, saat dia meraba-raba tubuh kakang mbok bisikkan di telinganya bahwa kangmbok adalah gadis miskin yang buta agar tidak dipilih sebagai istrinya. Dan itu berarti kangmbok akan menjadi istri Pangeran Pandu si calon raja, hi.. hi .. hik..."
"Kau memang adikku yang paling pinter," puji Dewi Gendari sambil mengacungkan dua jempolnya.
Begitulah, semua strategi telah dipersiapkan oleh kakak dan adik itu dengan ide-ide yang brilian.Â
Dan apa yang diperkirakan oleh Sengkuni ternyata benar. Pangeran Pandu yang baik hati itu mempersilahkan kakaknya untuk memilih gadis mana yang dia senangi sebagai istrinya.
Maka dengan disaksikan oleh ramanda Prabu Kresna Dwipayana, Raden Drestarasta yang "cacat netra" itu segera menggerayangi satu persatu tiga gadis boyongan itu.
Dewi Gendari sengaja memilih giliran terakhir agar ia leluasa berbisik ke telinga si buta untuk tidak memilih dirinya.Â
Semua cara yang dirancang Sengkuni ia terapkan dengan satu tujuan, bahwa ia tidak sudi menjadi istri pangeran yang buta ini.
Demikianlah semua taktik Sengkuni yang jitu berjalan dengan mulus, tapi tentu saja tentang hasilnya hanya Tuhan yang menentukan.
Selicik apapun Sengkuni atau Dewi Gendari, mereka hanyalah manusia biasa yang cuma diwenangkan untuk berusaha.
Kenyataannya, apa yang terjadi? Si anak raja yang buta itu justru memilih Dewi Gendari.Â
Dia hanya mau dilayani oleh gadis yang sama-sama menderita seperti dirinya, karena pasti lebih sabar, lebih tabah, lebih telaten dan bisa diajak berkeluh kesah tentang nasib mereka yang sama-sama buta.Â
Maka hancurlah rencana si julig Sengkuni dan Dewi Gendaripun seketika itu pingsan di tempat.
Nah, belajar dari nasib Dewi Gendari itu agaknya topik kita kali ini yang berkisar tentang nasib "Ratna Sarumpaet" kiranya bisa menjadi cermin.
Ibu Ratna yang kita kenal sebagai wanita yang berani bersuara lantang, bersikap kritis, pandai berbicara dan tentu saja "kreatif", agaknya kali ini sedang bernasib sial.
Dan wanita yang sudah berusia lanjut itu kini tengah menikmati kesialannya. Apa yang selama ini ia gembar-gemborkan, tentang keadilan, kejujuran, persamaan hak rakyat kecil dan kaum wanita, semua ibarat senjata makan tuan.
Mimis-mimis itu telah mengenai dirinya sendiri, menohok ulu hati dan menghancurkan legitimasinya sebagai pejuang hak azasi.
Ibu Ratna bahkan kini seperti telah dijauhi oleh kawan-kawannya. Pengacaranya mengatakan melalui mas media bahwa belum satupun tokoh dari kubu salah satu capres datang menjenguk kliennya.
Kini ibaratnya wanita aktivis itu sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Ada tanda-tanda kalau salah satu kubu capres tersebut merasa dibohongi, dipecundangi, dikibuli bahkan terjebak oleh permainan seorang Ratna Saraumpet.
Berawal dari unggahan foto wajah ibu Ratna yang babak belur seperti habis digebuki orang. Diakui bahwa baru saja beliau menjadi korban pengeroyokan.
Maka dalam waktu yang tidak lama justru Ibu Ratna sendiri yang menyangkal di depan media bahwa peristiwa pengeroyokan itu sebenarnya tidak ada.
Lebam-lebam di wajahnya ini adalah efek dari operasi plastik yang baru saja dijalaninya. Tak kurang wanita berusia lanjut ini juga mengakui bahwa dirinya telah bersalah karena telah menyebarkan berita hoax tentang penganiayaan.Â
Dia meminta ma'af kepada semua pihak yang merasa dirugikan atas perilakunya selama ini.
Atas semua itu Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan Ratna Sarumpaet sebagai tersangka berita hoax penganiayaan. Kepadanya disangkakan dengan UU Peraturan Hukum Pidana dan UU ITE.
Kini kasus ibu Ratna telah masuk masa persidangan. Sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (28/02).Â
Di samping itu Ratna juga dikenakan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2a UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Meski begitu, Ratna dan tim kuasa hukumnya menganggap sejumlah poin dalam dakwaan tersebut tak sesuai fakta. Mereka juga merasakan bahwa penanganan kasusnya terlalu berlebihan.
Sementara itu pro dan kontrapun juga mewarnai situasi di luar persidangan terhadap kasus ini.Â
Prof. Mudzakir seorang Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berpendapat bahwa perbuatan Ratna sulit dikategorikan melanggar hukum pidana.
Kalau temanya berita bohong itu artinya melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana Hukum.
Di situ harus ada akibat yang ditimbulkan, misalnya terjadinya keonaran di tengah masyarakat.Â
Kan nyatanya tidak terjadi keributan dalam masyarakat. Yang ramai hanya media sosial dan tidak terkait dengan kepentingan Pilpres 2019.
Kemudian kalau dengan UU ITE dan pasal KUHP lainnya, berita bohong terkait dengan stabilitas ekonomi atau perlindungan konsumen atau masyarakat di bidang ekonomi, juga tidak ada bukti ke arah ke sana.Â
Menurut Mudzakir sanksi sosial akan lebih efektif untuk memberikan efek jera kepada Rata Sarumpaet.
Sedangkan menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, tindakan Ratna sudah memenuhi unsur pidana.
Ibu Ratna bisa terkena hukuman 10 tahun penjara dengan pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 1 tahun 1946."
Dalam pada itu sikap Ratna sendiri dalam persidangan tetap optimis dan tidak merasa kehilangan dukungan dari orang-orang yang sempat menyokongnya dalam menyebarkan berita bohong.
Yang menarik dalam naskah dakwaan jaksa juga menyebut nama sejumlah tokoh politik yang disinyalir ikut membantu penyebaran berita bohong. Antara lain ada Prabowo, Amin Rais, Fadli Zon, Ferdinan, dsb.
Namun tidak ada satupun politikus yang disebut jaksa tersebut hadir pada sidang perdana tersebut.
Pada saatnya nanti akan nampak siapa saja yang benar-behar terlibat dalam kasus terdebut. Dan pantaskah seorang Ratna Saraumpet yang dulu kita kenal sebagai "srikandi kemanusiaan" itu mendapatkan ganjaran meringkuk di balik terali besi atas perilakunya ?Â
Semoga kasus ini dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi semua pihak terutama bagi Ibu Ratna sendiri tentunya.***
SUMBER BACAAN:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H