Kini di mata lelaki itu yang ada di depannya seolah -olah bukan Dewi Durgandini, melainkan sang kekasih hati Betari Rukmawati yang telah meninggalkannya.
Tumbuhlah kemudian rasa cinta kasih dalam hatinya dan perasaan sayang itu semakin kuat saat sang pujaan kemudian siuman.
Tiba-tiba saja seluruh luka di kulit Dewi Durgandini runtuh bagaikan bunga kering yang berguguran.
Yang ada sekarang adalah aroma yang harum seperti wanginya bunga asmara mereka berdua.
Demikianlah perahu yang mereka tumpangi itupun hanyut pelan terayun-ayun oleh gelombang lembut air Sungai Yamuna.Â
Begitu indah semilir angin dari tepian sungai seindah buaian cinta yang merasuki jiwa.
Dua anak manusia sedang memadu kasih layaknya batara Kumajaya dan Dewi Ratih.Â
Harum semerbak wewangian di tubuh Dewi Durgandini kian membangkitkan gairah asmara mereka dan entah siapa yang memulai ketika tangan kedua insan itu saling membelai, saling mengusab dan saling meraba.
Cinta adalah anugerah yang selalu terlahir dari sepasang insan, tak ada tangan sekuat apapun yang kuasa membendung dan menghentikannya.
Ketika dua anak manusia yang sedang dirasuki cinta sedang bertemu dan mengadu kemesraan maka sangat mudah untuk menciptakan satu unsur lagi, ialah nafsu birahi.
Demikian pula yang dialami oleh Raden Palasara dan Dewi Durgandini, betapapun kuatnya keteguhan lelaki muda itu saat bertapa namun kini ia tetaplah anak manusia.
Syetan telah hadir menjelma menjadi gairah yang membabi buta dalam sanubari keduanya, menerjang dasyat tembok pertahanan suci Sang Palasara.Â
Maka deer... hua ha ha... ! Semua wujud yang menakutkan mulai dari bekakak, jin, jalangkung dan banaspati yang dulu pernah gagal menggoda Sang Palasara kini berpesta dan menari-nari di sekitar perahu.
Terkejut Sang Badranaya menyaksikan pemandangan yang tak disangka-sangka itu.***
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H