Rumah itu beratap joglo, lebar dan tinggi menjulang. Halamannya luas berhiaskan pepohonan rimbun di sana-sini, dua di antaranya adalah beringin yang sudah berumur 20 tahun. Pohon itu berdiri kokoh di kanan kiri gapura besar dan megah pula.
Di rumah kuno itulah aku lahir dan dibesarkan. Ayahku seorang pedagang yang senang dengan nuansa klasik dan alami.
Di kota kecil ini semua orang tahu, ayah biasa dipanggil Pak Bima. Orangnya tinggi besar dan agak pendiam seperti panenggak pandhawa.
Pagi itu suasana rumah terasa sejuk dan tenang. Akupun baru datang berkeliling kota tanpa kepastian. Mengisi waktu dengan teman-teman yang berstempel sama: yakni pengangguran.
             **
"Setelah Mas Aden mandi ditunggu ayah di pendapa," kaget sekali aku mendengar simbok berpesan begitu.
Tanpa banyak cingcong akupun bergegas memenuhi undangan ayah. Ada apa ini, Â tidak biasanya ayah bisa bikin dag dig dug. Perlahan akupun menghamprinya. Nampak ayah tertunduk lesu seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
"Nah kau sudah mandi dan berganti pakaian? Marilah kita makan bersama di ruang dalam."
Ternyata makan kami sudah disediakan. Seorang pelayan yang semula menunggui makanan itu pun pergi.
Ayah dan akupun duduk. "Marilah kita makan Aden," ajak ayahku. Akupun merasa tiba-tiba semakin asing di rumah ini serta di depan ayahku sendiri.
Biasanya ayah tidak begini kaku menghadapiku. Bahkan seringkali tidak menghiraukanku, apakah aku sudah makan atau belum.