Satu lagi pitutur jawa yang amat populer di tengah masyarakat kita adalah agar kita menghindari sifat: "Adigang Adigung Adiguna."
Hampir semua orang jawa pernah mendengar pitutur tersebut, mungkin dari ayah ibu atau kakek nenek, saudara atau teman maupun sahabat-sahabat kita.
Istilah adigang adigung adiguna merupakan istilah yang pertama kali dituliskan oleh Sri Pakubuwana IV (1788-1820) melalui karya beliau Serat Wulangreh.
Baca juga : Jenang Asli Buatan Orang Jawa
Tercantum khususnya pada Pupuh ke-3 (Sekar Gambuh) bait 4-10.
Serat Wulangreh yang dikarang raja Surakarta ini sekarang tersimpan di Museum Radya Pustaka di Surakarta.
Isinya terdiri dari 13 pupuh, antara lain: Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmarandana, Sinom, dan Girisa.
Baca juga : Fakta Menarik Budaya Jawa! Berikut 5 Pantangan yang Tidak Boleh Dilakukan oleh Orang Jawa
Setiap pupuh isinya berupa tuntunan yang perlu dilaksanakan oleh semua manusia agar hidupnya selamat serta tidak terjerumus ke hak-hal yang bersifat nista.
Jadi isinya sesuai benar dengan judul bukunya, yaitu "Wulangreh" yang artinya ajaran atau pitutur menuju jalan keutamaan.
Pada pupuh ke-3 bait ke 4 itu digambarkan tentang apa yang dimaksud adigang adigung adiguna itu.
"Pan adigang kidang adigung pan esthi
Adiguna ula iku
Telu pisan mati sampyoh."
Kalau diterjemahkan menjadi begini: Adiguna adigang adigung; Kijang adalah adigang dan gajah adalah adigung; Adiguna adalah ular; Ketiganya mati bersama (sampyuh).
1. Sifat Adigang
Sifat ini digambarkan sebagai "Kijang" yang meskipun daya kekuatannya tidak terlalu tinggi namun dia memiliki kelincahan yang luar biasa. Dan karena itu dia menjadi sombong.***
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H